Sunyi di Tengah Keramaian: Nihilisme dan Krisis Makna Generasi Kini
Halo, Sobat Blog! Pernahkah kamu duduk termenung, menatap layar ponsel, atau bahkan di tengah keramaian teman-teman, lalu tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di benakmu: "Untuk apa sih semua ini? Apa gunanya belajar keras, bekerja mati-matian, atau mengejar impian, kalau pada akhirnya semua akan berakhir juga?"
Jika pertanyaan itu pernah terlintas di pikiranmu, jangan khawatir. Kamu tidak sendirian. Fenomena ini, yang seringkali terasa personal dan soliter, ternyata memiliki nama: nihilisme. Dan yang lebih menarik lagi, nihilisme bukan lagi sekadar konsep filosofis berat yang hanya dibahas di bangku kuliah, melainkan telah meresap ke dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan generasi Milenial dan Gen Z.Artikel ini akan
mengajakmu untuk menyelami apa itu nihilisme, mengapa ia begitu relevan di era
kita saat ini, dan yang terpenting, bagaimana kita bisa menghadapinya agar
hidup tidak berakhir dengan perasaan hampa. Yuk, kita mulai!
Apa Sih Sebenarnya Nihilisme Itu? (Bukan Sekadar Edgy-edgyan!)
Mungkin kamu pernah
dengar kata "nihilisme" dan langsung membayangkan sosok yang serba
gelap, pesimis, atau bahkan anti-sosial. Atau, mungkin kamu berpikir ini hanya
"gaya-gayaan" anak muda yang ingin terlihat edgy dengan
mengatakan "hidup ini tidak ada artinya". Tapi, nihilisme sebenarnya
jauh lebih dalam dari itu.
Secara etimologi, kata
"nihilisme" berasal dari bahasa Latin "nihil", yang
berarti "tidak ada". Jadi,
secara sederhana, nihilisme adalah sebuah pandangan atau paham yang menyatakan
bahwa hidup, nilai-nilai moral, bahkan
pengetahuan, pada dasarnya tidak memiliki makna, tujuan, atau nilai yang
melekat dari awalnya.
Bayangkan seperti ini:
ketika kamu membeli sebuah produk, biasanya ada buku panduan atau deskripsi
yang menjelaskan fungsinya, tujuannya, dan cara menggunakannya. Nihilisme
seolah mengatakan, "Untuk hidup ini, tidak ada buku panduan yang
menjelaskan apa tujuannya, apa makna sejati di baliknya, atau nilai-nilai apa
yang absolut." Semua yang kita anggap penting – cinta, kebenaran,
kebaikan, keindahan – mungkin hanyalah konstruksi sosial atau preferensi
pribadi belaka, tanpa landasan objektif yang kuat.
Penting untuk dicatat,
nihilisme bukanlah selalu tentang menjadi ateis atau tidak percaya pada Tuhan.
Ada orang yang masih memegang keyakinan spiritual tetapi tetap merasakan
kekosongan makna dalam aspek lain kehidupannya. Esensi nihilisme terletak pada ketiadaan
nilai dan tujuan inheren, bukan semata-mata pada ketiadaan Tuhan.
Jenis-Jenis Nihilisme: Bukan Cuma Satu Lho!
Meskipun sering
disamaratakan, nihilisme memiliki beberapa varian yang perlu kita ketahui:
- Nihilisme
eksistensial: Ini yang
paling umum kita rasakan. Paham ini menyatakan bahwa hidup pada dasarnya
tidak memiliki makna, tujuan, atau nilai intrinsik. Manusia lahir tanpa
tujuan yang telah ditentukan, dan setiap makna yang kita temukan adalah
ciptaan kita sendiri.
- Nihilisme
moral: Pandangan ini
berpendapat bahwa tidak ada nilai moral yang objektif atau universal.
Semua konsep tentang "baik" atau "buruk" hanyalah
relatif terhadap budaya, preferensi pribadi, atau perasaan individu.
- Nihilisme
kosmis: Lebih luas lagi,
ini adalah pandangan bahwa alam semesta itu sendiri (dan segala isinya)
tidak memiliki makna atau tujuan. Dalam skala kosmik yang begitu luas,
keberadaan manusia hanyalah setitik debu tanpa arti khusus.
- Nihilisme
epistemologis: Ini adalah
pandangan yang meragukan kemungkinan kita untuk benar-benar memiliki
pengetahuan yang pasti atau kebenaran objektif. Segala yang kita kira
"tahu" mungkin hanyalah interpretasi atau ilusi.
Mungkin saat membaca
ini, kamu mulai merasa relate dengan satu atau lebih jenis nihilisme
tersebut. Ini adalah pertanda bahwa kamu sedang merenungkan
pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup, dan itu adalah hal yang wajar.
Kenapa Sih Nihilisme "Nge-trend" di Kalangan Generasi Milenial dan Gen Z?
Sekarang, mari kita
bedah lebih dalam mengapa paham yang seringkali terasa "berat" ini
justru menemukan tempat di hati (atau pikiran) banyak anak muda. Dunia yang
kita tinggali saat ini sangat berbeda dengan era orang tua atau kakek-nenek
kita. Berikut beberapa faktor kunci yang mendorong munculnya nihilisme di
kalangan generasi Milenial dan Gen Z.
- Dunia
yang serba tidak pasti dan krisis berkepanjangan.
Kalian tumbuh di tengah serangkaian krisis yang tak berkesudahan: perubahan iklim yang mengancam masa depan, pandemi global yang melumpuhkan aktivitas dan menelan jutaan korban, krisis ekonomi yang membuat pekerjaan impian terasa semakin sulit diraih, konflik geopolitik yang tak kunjung usai, dan ketidakstabilan sosial-politik di berbagai belahan dunia.
Bagaimana mungkin seseorang bisa merasa optimis dan melihat tujuan hidup yang jelas ketika masa depan terasa begitu abu-abu dan penuh ancaman? Wajar jika banyak yang mulai bertanya, "Apa gunanya saya berjuang keras kalau dunia ini sendiri sedang menuju kehancuran?" Rasa ketidakpastian ini menciptakan perasaan hampa dan membuat upaya keras terasa sia-sia. - Banjir
informasi dan post-truth era.
Kita hidup di era informasi yang hiper-konektif. Setiap hari, kita dibombardir oleh berita dari berbagai penjuru dunia, baik yang positif maupun negatif, fakta maupun hoaks. Sulit sekali membedakan mana yang benar, mana yang bias, atau mana yang sekadar narasi untuk kepentingan tertentu.
Ketika begitu banyak informasi bertentangan, ketika kebenaran terasa relatif, dan ketika kepercayaan terhadap institusi (pemerintah, media, agama) mulai terkikis, muncul perasaan lelah dan sinis. "Ah, sudahlah, semua sama saja, tidak ada yang bisa dipercaya." Ini adalah bibit nihilisme epistemologis yang bisa menjalar ke nihilisme eksistensial. - Tekanan
sosial dan ekspektasi yang tidak realistis di media sosial.
Media sosial adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menghubungkan kita, namun di sisi lain, ia menciptakan standar yang seringkali tidak realistis. Setiap hari, kita melihat feed Instagram atau TikTok yang penuh dengan kisah sukses, penampilan sempurna, liburan mewah, dan "hidup impian" orang lain.
Tekanan untuk selalu terlihat bahagia, berprestasi, dan memiliki "keunikan" diri sendiri dapat memicu perbandingan sosial yang merugikan. Jika kita tidak mencapai standar tersebut, rasa kurang, tidak berarti, dan kekosongan dapat muncul. Nihilisme kemudian menjadi semacam pelarian: "Tidak apa-apa kok kalau saya tidak seperti mereka, karena toh semua itu tidak punya makna sejati." - Budaya
instan dan cepat bosan.
Generasi Milenial dan Gen Z tumbuh dalam budaya yang serba instan. Hiburan tersedia dalam hitungan detik, informasi dapat diakses kapan saja, dan kepuasan seringkali dicari secara cepat. Ketika sesuatu membutuhkan usaha jangka panjang dan tidak memberikan "dopamine hit" secara instan, kita cenderung mudah bosan dan mencari hal lain.
Proses ini bisa membuat kita merasa bahwa tidak ada satu pun hal yang benar-benar worth it untuk diperjuangkan dalam jangka panjang, karena cepat atau lambat kita akan bosan dan merasa hampa lagi. Ini menciptakan siklus pencarian kepuasan sesaat yang pada akhirnya justru meninggalkan kekosongan lebih dalam.
Singkatnya, nihilisme
yang kita rasakan hari ini adalah cerminan dari kompleksitas dunia modern, di
mana individu dihadapkan pada ketidakpastian masif, kebenaran yang relatif,
tekanan tak berujung, dan kebutuhan akan kepuasan instan.
Awas! Bahaya Nihilisme Jika Sampai Kebablasan
Meskipun memahami
nihilisme bisa menjadi titik awal untuk refleksi diri yang mendalam, kita harus
sangat berhati-hati agar tidak terlarut di dalamnya. Jika dibiarkan mengakar
dan menguasai pikiran, nihilisme bisa membawa dampak negatif yang serius bagi kehidupan
kita:
- Hilangnya
motivasi dan apatisme yang melumpuhkan.
Ini adalah efek paling langsung. Jika kamu percaya bahwa tidak ada makna atau tujuan, untuk apa kamu harus bersusah payah? Untuk apa belajar keras, bekerja lembur, atau mengejar impian? Perasaan ini bisa mengikis habis motivasi, membuatmu menjadi apatis, dan akhirnya melumpuhkan kemampuanmu untuk bertindak dan berkreasi. Kamu mungkin merasa "rebahan" bukan lagi sebagai istirahat, melainkan sebagai satu-satunya pilihan yang masuk akal karena semua usaha terasa sia-sia. - Isolasi
sosial dan kesepian yang mendalam.
Ketika kamu merasa tidak ada yang penting, termasuk interaksi sosial, kamu cenderung menarik diri dari lingkungan. Kamu mungkin merasa tidak ada gunanya berteman, berbagi cerita, atau terlibat dalam kegiatan komunitas. Padahal, manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan koneksi dan dukungan dari orang lain. Isolasi yang berkepanjangan dapat memperburuk perasaan hampa dan kesepian, bahkan memicu masalah kesehatan mental yang lebih serius. - Peningkatan
risiko depresi dan masalah kesehatan mental.
Ini adalah bahaya paling serius. Perasaan kosong, tidak berarti, putus asa, dan hilangnya tujuan hidup adalah lahan subur bagi berkembangnya gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan. Ketika hidup terasa tidak memiliki nilai, pikiran-pikiran gelap tentang diri sendiri dan masa depan bisa muncul, bahkan mengarah pada ide-ide yang membahayakan diri. Jika ini terjadi, mencari bantuan profesional adalah langkah yang sangat penting. - Pengabaian
tanggung jawab.
Jika nilai-nilai dan tujuan dianggap tidak ada, lantas untuk apa memegang tanggung jawab? Tanggung jawab terhadap pekerjaan, studi, keluarga, atau bahkan diri sendiri bisa mulai diabaikan. Ini tidak hanya merugikan dirimu sendiri tetapi juga orang-orang di sekitarmu yang mengandalkanmu. - Erosi
kompas moral.
Nihilisme moral yang berlebihan bisa mengikis kompas moral internal kita. Jika tidak ada yang benar-benar "baik" atau "buruk" secara objektif, lantas apa yang menjadi panduan tindakan kita? Ini bisa menjadi "slippery slope" yang berbahaya, di mana batas antara etika dan keegoisan menjadi kabur, berpotensi merugikan diri sendiri dan masyarakat.
Intinya, nihilisme
adalah pisau bermata dua. Ia bisa membebaskan kita dari ekspektasi yang tidak
realistis, tetapi jika tidak hati-hati, ia bisa memotong semangat hidup dan
membuat kita terperosok ke dalam lubang kehampaan.
Menemukan Makna di Tengah Nihilisme: Langkah Praktis untuk Generasi Muda
Jadi, kalau kamu
merasakan gejala-gejala nihilisme ini, apakah berarti kamu harus pasrah dan
menyerah? Tentu saja tidak! Kita punya pilihan dan kekuatan untuk menciptakan
makna kita sendiri. Ingat, meskipun hidup mungkin tidak datang dengan tujuan
yang sudah pre-defined, kita bisa menjadi arsitek makna hidup kita sendiri. Berikut adalah beberapa langkah
praktis yang bisa kamu coba:
- Ciptakan
tujuan kecil yang bermakna (Micro-goals).
Jangan langsung memikirkan "tujuan hidup" yang besar dan muluk-muluk. Itu bisa terasa sangat membebani. Mulailah dari tujuan-tujuan kecil yang bisa kamu capai setiap hari atau setiap minggu. Misalnya: "Hari ini aku akan menyelesaikan satu bab buku", "Aku akan membantu ibuku membersihkan rumah", "Aku akan mencoba mempelajari 10 kata bahasa baru", atau "Aku akan lari pagi 3 kali seminggu".
Setiap kali kamu mencapai tujuan kecil ini, otakmu akan melepaskan dopamin, memberimu rasa kepuasan dan pencapaian. Ini adalah fondasi kecil yang akan menumpuk menjadi rasa tujuan yang lebih besar. - Fokus
pada apa yang bisa kamu kontrol (Circle of control).
Dunia memang penuh ketidakpastian dan banyak hal di luar kendali kita. Daripada terpaku pada hal-hal besar yang tidak bisa kamu ubah (misalnya, krisis iklim global atau politik antar negara), fokuslah pada apa yang ada di dalam lingkaran pengaruhmu. Kamu mungkin tidak bisa menghentikan perubahan iklim sendirian, tapi kamu bisa mulai mengurangi sampah plastikmu. Kamu mungkin tidak bisa mengubah sistem politik, tapi kamu bisa menyuarakan pendapatmu secara cerdas. Mengambil tindakan di area yang bisa kamu kontrol akan memberimu rasa agensi dan efikasi diri. - Eksplorasi
dan belajar hal baru tanpa batas.
Rasa hampa seringkali muncul karena rutinitas atau kurangnya stimulasi. Lawan itu dengan terus belajar dan mengeksplorasi. Coba hobi baru, belajar skill baru (memasak, coding, fotografi, alat musik), baca buku dari genre yang berbeda, atau ikuti kursus online tentang topik yang menarik perhatianmu. Dengan membuka diri pada pengalaman dan pengetahuan baru, kamu mungkin akan menemukan minat atau passion yang tidak pernah kamu duga sebelumnya – dan passion adalah sumber makna yang sangat kuat. - Perkuat
koneksi sosial yang sehat.
Jangan biarkan dirimu terisolasi. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dan rasa memiliki. Luangkan waktu untuk keluarga dan teman-teman dekat. Berbagilah cerita, tawa, dan bebanmu. Jika kamu merasa kesepian, cari komunitas atau grup yang memiliki minat yang sama (klub buku, klub olahraga, komunitas relawan). Merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri dapat memberikan makna yang mendalam. - Memberikan
kontribusi positif (Volunteering & altruism).
Paradoksnya, seringkali makna hidup kita temukan saat kita berhenti berfokus pada diri sendiri dan mulai berfokus pada orang lain. Terlibat dalam kegiatan sosial, menjadi sukarelawan, membantu orang yang membutuhkan, atau sekadar menjadi pendengar yang baik bagi teman yang sedang kesulitan, dapat memberikanmu rasa kepuasan dan tujuan yang luar biasa. Saat kamu melihat dampak positif dari tindakanmu, kamu akan menyadari bahwa hidupmu punya arti bagi orang lain. - Latih
mindfulness dan Self-Care:
Di tengah kegilaan dunia, penting untuk meluangkan waktu untuk dirimu sendiri. Lakukan self-care yang sehat: istirahat cukup, makan makanan bergizi, berolahraga, dan hindari begadang. Latih mindfulness atau meditasi – ini bukan hanya tren, tapi cara efektif untuk membawa pikiranmu ke masa kini, menghargai momen yang sedang berjalan, dan mengurangi overthinking tentang masa lalu atau masa depan yang tidak pasti. Dengan lebih hadir di saat ini, kamu bisa menemukan keindahan dan makna dalam hal-hal kecil. - Cari
bantuan profesional jika dibutuhkan.
Jika perasaan hampa, putus asa, atau kurang motivasi ini sudah sangat mengganggu, jangan ragu untuk mencari bantuan dari psikolog atau psikiater. Ini bukan tanda kelemahan, melainkan tanda keberanian dan kebijaksanaan untuk menjaga kesehatan mentalmu. Profesional dapat membantumu memproses perasaanmu, menemukan strategi coping yang sehat, dan membimbingmu menemukan makna hidupmu sendiri.
Penutup: Kamu adalah Pencipta Makna Hidupmu Sendiri
Nihilisme memang bisa
terasa menakutkan, terutama bagi generasi yang sedang mencari jati diri dan
tujuan. Tapi ingat, anak muda, meskipun alam semesta mungkin tidak memiliki
tujuan yang sudah ditentukan untukmu, kamu
memiliki kebebasan dan kekuatan untuk menciptakan makna dan tujuanmu sendiri.
Hidup adalah kanvas
kosong. Apakah kamu akan membiarkannya kosong karena merasa "tidak ada
artinya", ataukah kamu akan berani melukiskan warnamu sendiri, menciptakan
karya seni yang unik dan bermakna bagimu?
Mari kita gunakan
momen refleksi ini bukan untuk terjebak dalam kehampaan, melainkan sebagai
pemicu untuk bangkit, mencari, dan menciptakan. Setiap tindakan kecil, setiap
hubungan yang kamu bina, setiap pengetahuan yang kamu serap, dan setiap
kontribusi yang kamu berikan, adalah guratan makna yang membentuk kisah
hidupmu.
Kamu tidak sendirian
dalam perjalanan ini. Teruslah berjuang, teruslah mencari, dan jadilah arsitek
dari makna hidupmu sendiri. Karena ya, you only live once, jadi kenapa
tidak menjadikannya hidup yang penuh arti, sesuai versimu?
Bagaimana menurutmu? Apakah kamu pernah merasakan gejala nihilisme? Atau kamu punya cara sendiri untuk menemukan makna dalam hidup? Bagikan pengalamanmu di kolom komentar di bawah! Mari kita berdiskusi dan saling menguatkan. ***
SURVEI PANDANGAN TENTANG MAKNA HIDUP DI KALANGAN ORANG MUDA
Bagaimana orang muda memahami makna hidup?
Orang muda sebagai digital native yang setiap hari dipenuhi dengan informasi
digital tentu memiliki pandangan sendiri tentang makna hidup, yang berbeda dari
orang tua. Pertanyaan ini hendak dijawab
melalui survei ini. Hasil survei bermanfaat untuk memperkaya pemahaman tentang
kebudayaan kontemporer.
Survei ini berlaku untuk generasi milenial dan
gen Z. Jika anda berusia 18-35 tahun, Anda cocok untuk menjawab pertanyaan
berikut. Klik link di bawah untuk mengisi kuesioner.

Komentar
Posting Komentar