Mario Dandy si anak pejabat Ditjen Pajak: Keberuntungannya sudah berakhir

Ilustrasi (Pyxabay) Ada pengalaman masa lalu yang saya enggan untuk mengingatnya, apalagi menceritakannya, karena agak menyakitkan hati. Sekitar 45 tahun lalu saya adalah anak desa yang masuk kota. Sebagai anak desa saya merasa bukan siapa-siapa. Kepemilikan saya serba sangat minim, terutama soal harta benda. Terlalu jauh saya tertinggal dari teman-teman sekolah saya yang berasal dari kota. Pemilikan harta jadi ukuran harga diri Jadi sesungguhnya pada waktu itu secara bawah sadar bagi saya ukuran harga diri dan kepercayaan diri adalah apa yang dimiliki, utamanya harta benda. Faktanya saya tidak memenuhi ukuran itu. Maka minderlah saya. Jadi pergolakan dan pilihan batin saya sebagai anak remaja kala itu adalah bagaimana menjadi bahagia tanpa harus menjadi kaya harta. Maklum saya belum melihat jalan untuk menjadi kaya. Kalau pergolakan dan pilihan batin itu mau dinilai sebagai mentalitas fatalistik, bisa juga. Namun sampai hari ini saya tidak menyesalinya; malah bersyuku...