Kolonisasi masyarakat adat terjadi lagi: Kasus Kampung Dingin di Kutai Barat

Polisi bongkar pondokan (Foto: Erika Siluq).
Ketika Russia menyerang Ukraina setahun yang lalu banyak orang terheran-heran. Yang bikin terhedan-heran adalah serangan brutal yang tak pandang bulu (indiscriminate) terhadap fasilitas publik, perumahan dan apartemen sipil, bahkan sekolah dan rumah sakit. Kok masih ada kebrutalan seperti itu di abad ke-21?

Kok kolonisasi terjadi lagi di abad 21?

Pertanyaan tersebut cocok untuk ditanyakan lagi terkait dengan kasus di Kampung Dingin, Kabupaten Kutai Barat, tetapi dengan rumusan yang sedikit berbeda: Kokterjadi lagi kolonisasi masyarakat adat di abad ke-21? 

Beberapa minggu terakhir kasus konflik antara warga Dingin dengan perusahaan batubara PT. EBH mencuat ke permukaan. Tetapi sepertinya belum ada (belum banyak?) berita di media mainstream. Beritanya berseliweran di media sosial. Pada 29 September 2022 ada berita tentang sengketa tersebut oleh Baromer Times yang menyebut lahan 4 hektar diduga diserobot oleh PT. EBH. 

Berita terbaru saya terima pada 16 Februari 2023.  Aparat kepolisian mendatangi lokasi sengketa dan membubarkan warga yang berkumpul di tempat itu. Pondokan mereka dibongkar dan mandau disita karena dianggap sebagai senjata tajam. 

Terlihat warga-warga yang melakukan protes, didukung oleh Gerakan Pemuda Dayak (Gerdayak). Meskipun diprotes "penindakan" tetap dilakukan oleh polisi. 

Berita terbaru hari 17 Februari menyebutkan beberapa orang yang kemarin melakukan protes diproses di kantor polisi. Selanjutnya tidak ada informasi lagi.

Hingga saat ini belum diperoleh informasi rinci tentang peristiwa tersebut maupun sejarah sengketa. Jadi tulisan ini tidak masuk ke dalam detail masalah. 

Pola kolonisasi masyarakat adat 

Meskipun informasi tidak rinci, sudah terlihat adalanya semacam "kolonisasi" terhadap masyarakat adat setempat.  "Kolonisasi" berarti pembentukan koloni di mana terjadi penaklukan suatu bangsa atau daerah sebagai perpanjangan tangan penguasa.

Kolonisasi masyarakat adat di pulau Kalimantan di jaman kemerdekaan sudah terjadi sejak jaman rezim Orde Baru. Polanya begini: Perusahaan besar datang, mengklaim kawasan yang luas (atas ijin negara), mengabaikan dan mengambil hak-hak (tradisional) masyarakat setempat. 

Pemeriksaan di kantor Polisi
Bila masyarakat setempat melakukan protes, aparat keamanan bertindak dalam rangka membela perusahaan. Tidak pernah ada aparat keamanan membela masyarakat setempat. 

Dalam kasus sengketa di kampung Dingin itu terlihat juga pola yang sama. Kolonisasi dilakukan oleh pihak korporasi, yang mendapat dukungan dari negara. Klaim tanah oleh perusahaan menimbulkan sengketa dengan warga. Aparat negara datang untuk membela perusahaan. Warga yang melakukan protes diproses hukum. 

Kenapa pola seperti ini masih ada di abad 21? Kenapa perusahaan tidak melaku pendekatan yang tidak merugikan warga setempat? Kapan kita bisa melihat aparat berpihak pada rakyat kecil? 

Untuk sebagian harapan yang terkandung di dalam pertanyaan tersebut tidak akan terjawab, karena hakekat dari kekuasaan itu sendiri. Bukan saja "Power tends to corrupt (Kekuasaan cenderung korup)", bisa juga dikatakan bahwa "Power tends to be oppressive": kekuasaan cenderung menindas. Kekuasaan dan penindasan sesungguhnya adalah dua sisi dari satu mata uang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Argumen antropologis pentingnya warga Balik dan Paser di IKN tetap hidup berkomunitas

Dialog Etnografi Borneo: Membangun Pemahaman tentang Keberagaman Kalimantan

IKN benar-benar inklusif? Ultimatum pembongkaran rumah warga asli indikasi ada yang akan disingkirkan

Speedboat ke pedalaman Mahakam

Speedboat ke pedalaman Mahakam
Martinus Nanang di dermaga Samarinda Ilir