Kompleksitas Sosial Mengiringi Pembangunan Ibu Kota Nusantara

Deputi SBPM OIKN memberi sambutan pembuka

Diskusi kelompok terarah (FGD) bertajuk “Mengurai Potensi Konflik Sosial di Balik Pembangunan Kota Nusantara” yang digelar pada 8 Desember 2025 di Kemenko 3 KIPP Ibu Kota Nusantara memperlihatkan beragam persoalan yang dihadapi masyarakat lokal sejak dimulainya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Peneliti dan perwakilan desa, kelurahan, serta tokoh masyarakat dari berbagai wilayah terdekat dengan KIPP seperti Bukit Raya, Suka Raja, Sepaku, Bumi Harapan dan Pemaluan menyampaikan berbagai isu yang meliputi agraria, dampak lingkungan, perizinan, infrastruktur dasar, hingga mekanisme ganti rugi tanah.

FGD yang dihadiri oleh pihak Otorita, khususnya Kedeputian Sosial, Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat. Hadir juga tiga peneliti Universitas Mulawarman (Martinus Nanang, Sri Murlianti, Sukapti) yang memaparkan hasil penelitian. 

Bagi warga FGD ini menjadi ruang untuk mengemukakan persoalan yang dianggap belum tertangani secara sistematis. 

Dari seluruh sesi, terlihat bahwa sebagian besar masalah bersumber dari ketidaksinkronan tata kelola dan kurangnya komunikasi antar lembaga. Hal ini menimbulkan kebingungan di tingkat masyarakat, terutama dalam memahami status lahan, prosedur perizinan, serta batas kewenangan antara OIKN, BPN, pemerintah kecamatan, dan pemerintah desa.

Pertanahan Menjadi Isu Dominan

Masalah agraria menjadi pokok utama diskusi. Banyak warga mengeluhkan ketidaksesuaian antara sertifikat yang dimiliki dengan data persil di sistem pemerintah. Sejumlah peserta mengungkapkan bahwa sertifikat lama tidak memiliki titik koordinat sehingga lokasi yang tertera tidak sesuai dengan lahan yang selama ini mereka garap.

Perwakilan Desa Bukit Raya menjelaskan bahwa kasus serupa dialami oleh generasi kedua transmigran, di mana sertifikat masih atas nama orang tua, sementara lahan tersebut telah diwariskan dan digarap oleh anak-anaknya. Ketidaksesuaian ini menyebabkan kebingungan saat proses verifikasi atau saat lahan masuk dalam proyek pengadaan tanah untuk kepentingan IKN.

Selain itu, terdapat keluhan terkait sertifikat yang dikumpulkan untuk redesain atau perbaikan namun tidak kembali dalam jangka waktu lama. Di beberapa desa seperti Bukit Raya dan Suka Raja, jumlah sertifikat yang dikumpulkan mencapai puluhan, namun sebagian belum dikembalikan dengan legalitas baru. Warga meminta adanya timeline jelas serta transparansi proses agar dokumen dapat dipertanggungjawabkan.

Lahan transmigrasi yang masuk ke dalam konsesi perusahaan, seperti PT IHM, juga menjadi sumber konflik. Warga Desa Suka Raja, misalnya, menyampaikan bahwa sebagian lahan ladang kedua kini berstatus buffer zone dan tidak dapat lagi diterbitkan sertifikat, menyebabkan ketidakpastian status kepemilikan.

Proses Ganti Rugi Dinilai Tidak Transparan

Isu ganti rugi lahan menjadi salah satu fokus utama. Beberapa warga menyatakan bahwa proses negosiasi tidak berjalan secara adil karena masyarakat hanya diberi pilihan untuk menyetujui atau menolak harga yang telah ditetapkan oleh tim appraisal. Ketika menolak, dana ganti rugi tetap dititipkan melalui mekanisme konsinyasi di pengadilan sehingga warga merasa tidak memiliki ruang negosiasi yang memadai.

Sejumlah peserta mengeluhkan lamanya proses pencairan konsinyasi. Ada warga yang menunggu lebih dari dua tahun tanpa kejelasan pembayaran, sementara proyek tetap berjalan di atas lahan mereka. Dalam beberapa kasus, masyarakat memenangkan gugatan di pengadilan tingkat pertama, namun BPN melakukan banding sehingga memperpanjang proses tanpa kepastian.

Warga juga mengusulkan agar pelatihan pengelolaan usaha diberikan sebelum uang ganti rugi diterima, karena banyak penerima kompensasi menghabiskan dana dalam waktu singkat akibat kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan ekonomi pasca ganti rugi.

Dampak Lingkungan dan Infrastruktur Dasar

Sejumlah peserta FGD menyoroti dampak lingkungan dari proyek penataan kawasan dan aktivitas perusahaan di sekitar Sepaku. Salah satu keluhan yang paling menonjol adalah banjir yang terjadi setelah sejumlah jalur air alami tertutup oleh pembangunan fasilitas. Warga Bukit Raya dan Sepaku menyampaikan bahwa curah hujan yang sebelumnya tidak menimbulkan genangan kini menyebabkan air masuk ke rumah-rumah.

Selain banjir, proyek pembangunan dinilai merusak sejumlah jalan koridor serta jalan-jalan lorong yang biasa digunakan warga. Jalan tersebut menjadi tidak layak dilewati karena dilintasi kendaraan proyek yang berat. Masyarakat berharap otorita memberikan perhatian khusus pada perbaikan infrastruktur dasar yang terdampak.

Masalah kelangkaan BBM juga muncul, terutama di wilayah Bukit Raya yang selama ini menjadi satu-satunya lokasi SPBU yang dapat melayani kebutuhan masyarakat dan pekerja proyek IKN. Inisiatif pembangunan SPBU modular oleh desa tidak dapat dilanjutkan karena terkendala izin tata ruang, meskipun keberadaannya dianggap krusial untuk kebutuhan harian masyarakat.

Menurunnya Aktivitas Pertanian

Beberapa perwakilan kelompok tani menyampaikan bahwa pembangunan IKN berdampak signifikan pada kegiatan pertanian lokal. Lahan sawah semakin berkurang karena sebagian wilayah diarahkan untuk pembangunan infrastruktur. Kondisi ini menyebabkan banyak petani beralih profesi menjadi pekerja informal atau berhenti berproduksi.

Para petani meminta dukungan pemerintah berupa penyediaan lahan baru, bantuan alat, serta pendampingan untuk adaptasi usaha pertanian. Kebutuhan pangan di kawasan IKN yang terus meningkat dinilai sebagai peluang besar, namun warga merasa belum mendapatkan dukungan kebijakan yang memungkinkan mereka memanfaatkan peluang tersebut.

Perizinan dan Pelayanan Publik yang Tidak Terintegrasi

Selain masalah lahan, kebingungan terkait perizinan bangunan dan usaha menjadi topik yang sering muncul. Warga mengaku kesulitan mengurus IMB (atau PBG) karena prosedurnya dianggap kompleks dan tidak ada fasilitator yang membantu.

Beberapa warga menyatakan perizinan yang biasanya dikelola pemerintah kabupaten kini harus melalui OIKN, namun tidak ada informasi jelas mengenai lokasi, mekanisme, maupun saluran pengaduan. Pemerintah desa pun tidak memiliki SOP atau panduan sehingga tidak dapat memberikan arahan yang tepat kepada masyarakat.

Ketiadaan saluran komunikasi resmi untuk menyampaikan keluhan dan permohonan informasi menjadi hambatan besar. Peserta FGD mendorong pembentukan posko pelayanan terpadu yang melibatkan OIKN, BPN, kecamatan, dan desa untuk memastikan transparansi dan akurasi informasi bagi warga.

Harapan dan Rekomendasi

Pada akhir diskusi, warga dan peneliti menyusun beberapa rekomendasi yang dianggap mendesak untuk dilaksanakan, antara lain:

  • Harmonisasi tata kelola pertanahan, termasuk pemutakhiran data, verifikasi lapangan, dan penyelesaian sertifikat bermasalah.
  • Transparansi proses ganti rugi, termasuk protokol negosiasi, timeline pembayaran, dan penyelesaian konsinyasi secara cepat dan terukur.
  • Penyediaan saluran komunikasi resmi, seperti posko layanan pertanahan dan perizinan di tingkat kecamatan atau desa.
  • Perbaikan drainase dan infrastruktur yang terdampak pembangunan, sebelum proyek diperluas ke desa-desa lain.
  • Dukungan terhadap sektor pertanian, baik dalam bentuk lahan pengganti, bantuan produksi, maupun integrasi dengan kebutuhan pangan IKN.
  • Penyederhanaan proses perizinan, termasuk penyediaan fasilitator bagi warga yang tidak memahami dokumen teknis.
  • Peningkatan literasi ekonomi bagi penerima ganti rugi, agar dana kompensasi dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif.

FGD ini mengungkapkan bahwa pembangunan Ibu Kota Nusantara membawa dinamika sosial yang kompleks bagi masyarakat lokal. Meskipun warga menerima dan mendukung pembangunan sebagai agenda nasional, mereka menekankan perlunya tata kelola yang lebih transparan, terintegrasi, dan berpihak pada kepentingan warga.

Secara keseluruhan, forum ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak akan kebijakan yang tidak hanya fokus pada percepatan pembangunan fisik, tetapi juga pada perlindungan hak, kesejahteraan, dan keberlanjutan kehidupan masyarakat yang telah lama tinggal di kawasan IKN.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Etnografi Borneo: Membangun pemahaman tentang keberagaman Kalimantan

Rumpun Dayak ini pernah punya usulan nama IKN dan gedung-gedung penting

Argumen antropologis pentingnya warga Balik dan Paser di IKN tetap hidup berkomunitas

Speedboat ke pedalaman Mahakam

Speedboat ke pedalaman Mahakam
Martinus Nanang di dermaga Samarinda Ilir