Dunia makin terpecah: Tren perdamaian global menurut Global Peace Index 2025

GPI 2025 (Sumber: IEP)
Setiap tahun akhir tahun sejak 2023 saya meringkas Global Peace Index (GPI) alias Indeks Perdamaian Global. Ini dilakukan di akhir tahun, meskipun GPI telah terbit pada bulan Juni, karena akhir tahun adalah waktu yang paling tepat untuk membuat refleksi atas pengalaman sebelumnya. 

GPI 2025 yang diterbitkan oleh Institute for Economic and Peace (IEP) pada Juni 2025, meliputi 163 negara dan teritori merdeka. Keseluruhannya mencakup 99.7% penduduk dunia. 

🇮🇩 Bahasa Indonesia

Namun, bagaimana mengukur perdamaian sering dianggap abstrak? Di sinilah Global Peace Index (GPI) berperan. GPI yang diterbitkan setiap tahun oleh IEP menjadi tolok ukur paling komprehensif untuk menilai tingkat perdamaian global.

Mengapa GPI penting?

Indeks ini tidak hanya menyoroti konflik bersenjata, tetapi juga faktor-faktor seperti keamanan masyarakat, tingkat kriminalitas, stabilitas politik, hingga tingkat militerisasi. Dengan 23 indikator yang terbagi dalam tiga domain utama (Safety and SecurityOngoing Conflict, dan Militarisation) GPI memberi gambaran menyeluruh tentang kondisi perdamaian global.

Mengapa penting? Karena perdamaian berkorelasi langsung dengan kesejahteraan ekonomi, kualitas hidup, dan ketahanan sosial. Negara-negara dengan skor perdamaian tinggi cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi lebih stabil, tingkat kesejahteraan lebih tinggi, serta kemampuan lebih baik menghadapi krisis global.

Tren global: Perdamaian turun dan konflik meningkat

Laporan GPI 2025 menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: tingkat perdamaian dunia terus menurun. Rata-rata skor global turun 0,36% dibanding tahun sebelumnya, menjadikan ini penurunan ke-13 dalam 17 tahun terakhiredge_current_page_context.

Beberapa poin penting dari tren global:

  • Jumlah konflik meningkat: Ada 59 konflik berbasis negara aktif, jumlah tertinggi sejak Perang Dunia II.
  • Resolusi konflik melemah: Hanya 9% konflik berakhir dengan kemenangan jelas, dan hanya 4% melalui perjanjian damai.
  • Konflik semakin internasional: 78 negara terlibat dalam perang di luar batas negaranya, mencerminkan fragmentasi geopolitik.
  • Militerisasi naik kembali: Setelah hampir dua dekade menurun, kini 106 negara mengalami peningkatan militerisasi.

Dampaknya terasa luas. Biaya ekonomi akibat kekerasan mencapai $19,97 triliun pada 2024, setara 11,6% dari PDB global. Angka ini bukan sekadar statistik; ia mencerminkan hilangnya peluang pembangunan, pendidikan, dan kesehatan yang seharusnya menopang masyarakat.

Fragmentasi geopolitik: Dunia yang terpecah

Salah satu temuan paling penting dari GPI 2025 adalah meningkatnya fragmentasi geopolitik. Dunia bergerak menuju era “global power fragmentation,” di mana pengaruh tidak lagi terkonsentrasi pada segelintir negara besar, tetapi menyebar ke lebih banyak aktor regional.

  • Jumlah negara berpengaruh meningkat: Dari hanya 6 negara pada 1970-an, kini ada 34 negara yang memiliki pengaruh signifikan di luar batas negaranya.
  • Aliansi tradisional melemah: Hubungan antarnegara tetangga memburuk; 59 negara mencatat penurunan kualitas hubungan sejak 2008.
  • Perlombaan senjata baru: Rivalitas kekuatan besar mendorong perlombaan teknologi militer, termasuk drone berbasis AI dan sistem antariksa.

Fragmentasi ini menciptakan ketidakpastian baru. Alih-alih satu tatanan global yang stabil, kita melihat munculnya blok-blok pengaruh yang saling bersaing. Kondisi ini meningkatkan risiko konflik regional yang bisa dengan cepat meluas menjadi krisis global.

Posisi Indonesia dalam GPI 2025

Bagaimana dengan Indonesia? Dalam laporan GPI 2025, Indonesia menempati peringkat ke-49 secara global dengan skor 1.786, naik tiga posisi dibanding tahun sebelumnya.

Beberapa catatan penting:

  • Perbaikan di domain Safety and Security: Indonesia mencatat peningkatan pada indikator political terror scale dan UN peacekeeping funding.
  • Keberhasilan melawan terorisme: Dalam lima tahun terakhir, Indonesia berhasil menekan aktivitas terorisme, dengan tidak ada serangan besar di luar Papua.
  • Tantangan tetap ada: Meski ada perbaikan, Indonesia masih menghadapi tantangan berupa konflik lokal di Papua, serta potensi ketegangan sosial akibat polarisasi politik.

Posisi Indonesia di GPI menunjukkan bahwa meski bukan negara paling damai, Indonesia relatif stabil dibanding banyak negara lain di Asia. Bahkan, Indonesia mencatat peningkatan 2,9% dalam skor perdamaian tahun ini, menjadikannya salah satu negara dengan perbaikan terbesar di Kawasan.

Mengapa indeks perdamaian penting untuk Indonesia

Bagi Indonesia, GPI bukan sekadar angka. Ia adalah cermin untuk melihat di mana kita berdiri dalam lanskap global. Ada beberapa alasan mengapa indeks ini relevan:

  1. Mendorong kebijakan berbasis data: Pemerintah dapat menggunakan indikator GPI untuk merancang kebijakan keamanan, diplomasi, dan pembangunan yang lebih terukur.
  2. Meningkatkan daya saing internasional: Negara dengan skor perdamaian tinggi lebih menarik bagi investor, wisatawan, dan mitra internasional.
  3. Membangun kesadaran publik: Dengan memahami posisi Indonesia, masyarakat dapat lebih kritis terhadap isu-isu keamanan, konflik lokal, dan pentingnya menjaga kohesi sosial.
  4. Menghubungkan lokal dengan global: Konflik di Papua, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari tren global fragmentasi dan meningkatnya peran aktor regional.

Membangun Positive Peace

Laporan GPI 2025 menegaskan bahwa dunia sedang berada di titik kritis. Penurunan perdamaian, meningkatnya konflik, dan fragmentasi geopolitik menciptakan risiko besar bagi masa depan. Namun, ada jalan keluar: Positive Peace.

Positive Peace adalah sikap, institusi, dan struktur yang menopang perdamaian jangka panjang. Ia mencakup hal-hal seperti pemerintahan yang transparan, distribusi sumber daya yang adil, kebebasan informasi, dan kohesi sosial.

Bagi Indonesia, membangun Positive Peace berarti memperkuat demokrasi, mengurangi polarisasi, dan memastikan pembangunan merata. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya memperbaiki posisinya di GPI, tetapi juga berkontribusi pada perdamaian dunia.

Sumber: GPI 2025.

🇬🇧 English

Global Peace Index 2025: A World in Fragmentation

Since 2023, I have made it a tradition to summarize the Global Peace Index (GPI) at the end of every year. I do this at year-end—even though the GPI is published by the Institute for Economics and Peace (IEP) in June—because the close of the year is the most appropriate time to reflect on the experiences of the past twelve months.

The GPI 2025 covers 163 independent states and territories, comprising 99.7% of the world's population.

But how do we measure peace, a concept often considered abstract? This is where the Global Peace Index plays a crucial role. Published annually, it serves as the most comprehensive benchmark for assessing global peace levels.

Why is the GPI Important?
This index highlights not only armed conflict but also factors such as societal safety, crime rates, political stability, and levels of militarization. With 23 indicators divided into three main domains—Safety and Security, Ongoing Conflict, and Militarisation—the GPI provides a holistic overview of the state of global peace.

This matters because peace correlates directly with economic welfare, quality of life, and social resilience. Countries with high peace scores tend to have more stable economic growth, higher levels of well-being, and a better capacity to withstand global crises.

Global Trends: Peace Declining, Conflict Rising

The GPI 2025 report reveals a worrying trend: global peace continues to deteriorate. The average global score fell by 0.36% compared to the previous year, marking the 13th decline in the last 17 years.

Key highlights from global trends:

  • Conflict is increasing: There are 59 active state-based conflicts, the highest number since World War II.
  • Conflict resolution is weakening: Only 9% of conflicts ended in a clear victory, and only 4% through peace agreements.
  • Conflicts are becoming international: 78 countries are involved in wars outside their own borders, reflecting geopolitical fragmentation.
  • Militarization is rising again: After nearly two decades of decline, 106 countries are now experiencing increased militarization.

The impact is widespread. The economic cost of violence reached nearly $20 trillion in 2024. This figure is not just a statistic; it reflects lost opportunities for development, education, and health that should be supporting society.

Geopolitical Fragmentation: A Divided World

One of the most significant findings of the GPI 2025 is the rise of geopolitical fragmentation. The world is moving toward an era of "global power fragmentation," where influence is no longer concentrated in a handful of major powers but is spread among many regional actors.

  • More influential states: From only 6 countries in the 1970s, there are now 34 countries with significant influence beyond their borders.
  • Traditional alliances are weakening: Relations between neighboring countries are deteriorating; 59 countries have recorded a decline in relationship quality since 2008.
  • A new arms race: Great power rivalry is driving a race in military technology, including AI-based drones and space systems.

This fragmentation creates new uncertainties. Instead of a stable global order, we are seeing the emergence of competing blocks of influence. This condition increases the risk of regional conflicts that can quickly escalate into global crises.

Indonesia's Position in the GPI 2025

How does Indonesia fare? In the GPI 2025 report, Indonesia ranks 49th globally with a score of 1.786, rising three positions compared to the previous year.

Key notes:

  • Improvement in Safety and Security: Indonesia recorded improvements in the political terror scale and UN peacekeeping funding indicators.
  • Success against terrorism: Over the last five years, Indonesia has successfully suppressed terrorist activity, with no major attacks outside of Papua.
  • Challenges remain: Despite improvements, Indonesia still faces challenges in the form of local conflict in Papua and potential social tension due to political polarization.

Indonesia's position shows that while it is not the most peaceful country, it is relatively stable compared to many others in Asia. In fact, Indonesia recorded a 2.9% improvement in its peace score this year, making it one of the countries with the most significant improvements in the region.

Why the Peace Index Matters for Indonesia
For Indonesia, the GPI is not just a number. It is a mirror to see where we stand in the global landscape. Here is why this index is relevant:

  1. Driving data-based policy: The government can use GPI indicators to design more measurable security, diplomatic, and development policies.
  2. Increasing international competitiveness: Countries with high peace scores are more attractive to investors, tourists, and international partners.
  3. Building public awareness: By understanding Indonesia's position, the public can be more critical of security issues, local conflicts, and the importance of maintaining social cohesion.
  4. Connecting the local to the global: Conflicts in Papua, for instance, cannot be separated from global trends of fragmentation and the rising role of regional actors.

Building Positive Peace

The GPI 2025 report emphasizes that the world is at a critical juncture. Declining peace, rising conflict, and geopolitical fragmentation create major risks for the future. However, there is a way out: Positive Peace.

Positive Peace refers to the attitudes, institutions, and structures that sustain long-term peace. It encompasses transparent governance, fair distribution of resources, freedom of information, and social cohesion.

For Indonesia, building Positive Peace means strengthening democracy, reducing polarization, and ensuring equitable development. By doing so, Indonesia will not only improve its position in the GPI but also contribute to world peace.

(Source: GPI 2025)

 

NATIVE ASYNC


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Etnografi Borneo: Membangun pemahaman tentang keberagaman Kalimantan

Rumpun Dayak ini pernah punya usulan nama IKN dan gedung-gedung penting

Argumen antropologis pentingnya warga Balik dan Paser di IKN tetap hidup berkomunitas

Speedboat ke pedalaman Mahakam

Speedboat ke pedalaman Mahakam
Martinus Nanang di dermaga Samarinda Ilir