Gereja Memberikan Moralitas yang Jelas: Seruan Paus Leo XIV Kepada Konferensi Iklim COP30 di Brazil

Konferensi Para Pihak (COP) ke-30 Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, yang diadakan di Belém do Pará, Brasil, di gerbang Hutan Hujan Amazon, bukan sekadar pertemuan diplomatik. Bagi Gereja Katolik, ini adalah momen kairos, waktu yang krusial dan menentukan secara moral dan spiritual, untuk menghadapi krisis iklim yang semakin parah. Seruan dari Takhta Suci, yang disampaikan secara tegas oleh Paus Leo XIV, bersama dengan suara kolektif para Uskup dari Global Selatan (Global South), menempatkan isu keadilan iklim dan pertobatan ekologis sebagai inti dari agenda global.

Pesan Paus Leo XIV, yang melanjutkan warisan "Bapa Hijau" Paus Fransiskus, yang diwariskan melalui ensiklik Laudato Si, menggema di lorong-lorong COP30: "Ciptaan sedang menjerit."

Tiga Pilar Seruan Gereja Katolik: Dari Hati ke Aksi

Seruan Gereja Katolik menjelang dan selama COP30 dapat diringkas dalam tiga pilar utama yang saling terkait: pengakuan realitas, keadilan yang berpusat pada manusia, dan tuntutan untuk tindakan konkret yang berani.

1. Pengakuan Realitas: Tangisan Ciptaan dan Kaum Miskin

Paus Leo XIV dengan tajam menunjukkan bahwa perubahan iklim bukanlah ancaman teoretis, melainkan kenyataan pahit yang sudah dirasakan oleh miliaran manusia. Beliau mengingatkan bahwa satu dari tiga orang hidup dalam kerentanan besar akibat banjir, kekeringan, badai, dan panas tak henti.

"Penciptaan sedang menjerit akibat banjir, kekeringan, badai, dan panas tak henti. Mengabaikan orang-orang ini berarti menyangkal kemanusiaan kita bersama."

Seruan ini berakar pada teologi penciptaan Katolik, di mana bumi dilihat sebagai anugerah Allah yang dipercayakan kepada umat manusia, bukan sebagai barang rampasan. Kerusakan lingkungan adalah dosa ekologis yang melanggar hubungan kita dengan Tuhan, sesama, dan alam. Pesan ini diperkuat oleh Deklarasi bersama dari konferensi para uskup di Afrika (SECAM), Asia (FABC), Amerika Latin dan Karibia (CELAM)— wilayah yang paling parah dilanda dampak iklim — yang mengangkat suara kenabian dari Gereja di Global Selatan.

2. Keadilan Iklim: Moral Debt dan Solidaritas

Inti dari seruan Gereja adalah penekanan pada keadilan iklim. Krisis ini memiliki "wajah manusia", dan yang paling menderita adalah kaum miskin dan rentan yang paling sedikit berkontribusi terhadap masalah ini. Para Uskup dari Global Selatan secara eksplisit menuntut kompensasi dari negara-negara Global Utara atas "utang ekologis dan moral" ini.

Keadilan iklim menuntut lebih dari sekadar bantuan, tetapi juga perbaikan yang transformatif:

  • Penghentian bahan bakar fosil: Tuntutan yang kuat untuk mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil, bukan hanya menguranginya, yang diakui sebagai penyebab 90% emisi CO2. Puluhan lembaga keagamaan bahkan mengumumkan divestasi (pelepasan investasi) dari industri bahan bakar fosil sebagai sinyal moral dan etika yang jelas.
  • Pendanaan kerugian dan kerusakan: Komitmen yang kuat untuk mendanai mekanisme Loss and Damage (Kerugian dan Kerusakan) untuk mendukung negara-negara yang paling rentan dalam pemulihan dari bencana iklim.
  • Solidaritas antargenerasi: Paus Leo XIV menegaskan bahwa kebijakan iklim yang lebih kuat akan menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan stabil, menjadikannya investasi bagi generasi mendatang.

3. Tuntutan Aksi Konkret dan Pertobatan Ekologis

Pesan Paus Leo XIV bukan hanya teguran, melainkan juga seruan untuk harapan yang diwujudkan melalui tindakan. Beliau memuji kemajuan yang didorong oleh Perjanjian Paris, tetapi dengan tegas menyatakan: "Bukan Perjanjian yang gagal; kita gagal dalam respons kita." Kegagalan yang dimaksud adalah kurangnya kemauan politik dari sebagian pihak.

Konversi atau pertobatan Ekologis menjadi kunci transformatif. Konsep ini, yang ditekankan oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si', adalah perubahan hati, pikiran, dan gaya hidup yang mengarah pada:

  • Perlindungan anugerah: Menganggap diri sebagai penjaga ciptaan, bukan pesaing untuk rampasannya.
  • Tindakan cepat: "Jendela untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1.5C semakin menutup. Sebagai pengurus ciptaan Tuhan, kita dipanggil untuk bertindak cepat, dengan iman dan kenabian."

  • Peran masyarakat sipil: Paus secara eksplisit mendesak semua orang, melalui organisasi non-pemerintah dan kelompok advokasi, untuk menekan pemerintah agar mengembangkan dan menerapkan peraturan yang lebih ketat.

Seruan untuk Umat Katolik dan Semua Orang Berkehendak Baik

Gereja Katolik tidak hanya berbicara kepada para pemimpin dunia; ia juga menyerukan kepada umatnya untuk terlibat dalam "Jalan Pertobatan" dengan tindakan nyata:

  • Audit etis: Memeriksa bank, dana pensiun, dan asuransi untuk memastikan dana tidak digunakan untuk merusak lingkungan.
  • Ekonomi pelestari Kehidupan: Mendukung model ekonomi yang mempromosikan kehidupan dan keadilan tanpa batas.
  • Aksi lokal: Terlibat dalam kampanye restorasi ekologis, pertanian berkelanjutan, dan transisi energi paroki.

Pesan kolektif dari para Uskup dan Paus adalah pengingat bahwa saat ini adalah momen yang mendesak. COP30, yang berlokasi di wilayah Amazon yang secara simbolis penting, harus menjadi tonggak sejarah perlawanan, koordinasi interkontinental, dan transformasi nyata.

Kesimpulan

Seruan Paus Leo XIV dan Gereja Katolik terkait COP30 adalah perpaduan yang kuat antara tanggung jawab spiritual dan etika sosial. Paus mendesak para delegasi untuk mengadopsi konversi ekologis dalam pikiran dan tindakan, dengan selalu mengingat wajah manusia dari krisis iklim.

Kepemimpinan sejati, menurut Paus, berarti pelayanan dan dukungan pada skala yang benar-benar membuat perbedaan. Pada akhirnya, Gereja memberikan moralitas yang jelas kepada konferensi teknis ini: krisis iklim adalah ujian terhadap kemanusiaan dan solidaritas kita. Dunia harus memilih kerja sama di atas perpecahan dan penyangkalan untuk melindungi Rumah Kita Bersama dan martabat semua yang menghuninya.

Aksi nyata perlu dirumuskan oleh semua pihak, tapi terutama oleh umat Katolik tidak boleh ketinggalan. Pada tulisan berikutnya kami akan menyajikan bahan diskusi mengenai hal ini. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Etnografi Borneo: Membangun pemahaman tentang keberagaman Kalimantan

Rumpun Dayak ini pernah punya usulan nama IKN dan gedung-gedung penting

Argumen antropologis pentingnya warga Balik dan Paser di IKN tetap hidup berkomunitas

Speedboat ke pedalaman Mahakam

Speedboat ke pedalaman Mahakam
Martinus Nanang di dermaga Samarinda Ilir