Hati-hati! Suara rakyat bisa jadi senjata pelumpuh demokrasi

Dalam beberapa dekade terakhir, fenomena politik global telah diguncang oleh bangkitnya sosok-sosok pemimpin yang mengklaim sebagai satu-satunya penyambung lidah rakyat. Mereka datang dengan janji untuk menghancurkan "elit yang korup" dan mengembalikan kekuasaan ke tangan rakyat jelata. Fenomena ini kita kenal sebagai populisme

Namun, ketika populisme bergeser menjadi populisme ekstrem, ia bukan lagi sekadar gaya kampanye, melainkan ancaman eksistensial bagi fondasi demokrasi itu sendiri.

Apa itu populisme ekstrem?

Secara sederhana, populisme adalah ideologi yang membagi masyarakat menjadi dua kelompok yang saling bertentangan: "rakyat yang murni" melawan "elit yang korup". 

Populisme itu sendiri sebenarnya bisa menjadi vitamin bagi demokrasi karena ia membawa isu-isu yang diabaikan oleh penguasa ke permukaan.

Namun, populisme menjadi ekstrem ketika mulai bersifat eksklusif dan otoriter. Populisme ekstrem tidak hanya menyerang elit, tetapi juga menyerang siapa pun yang tidak setuju dengan mereka (termasuk media independen, lembaga peradilan, dan kelompok minoritas) dengan melabeli mereka sebagai "musuh rakyat".

Istilah populisme ektrem di berbagai tempat disebut juga populisme radikal, populisme otoritarian, neo-fasisme populis, ultra populisme, populisme kanan jauh, populisme kiri radikal, caudilismo modern, daan demokrasi iliberal. 

Karakteristik utama populisme ekstrem

Untuk memahami mengapa ideologi ini berbahaya, kita perlu membedah taktik dan karakteristik yang sering digunakan oleh para aktornya:

  1. Narasi "kami vs mereka" (polarisasi akut): Populisme ekstrem bekerja dengan menciptakan pembelahan tajam dalam masyarakat. Mereka membangun narasi bahwa ada konspirasi besar dari kelompok elit (politisi lama, pengusaha, atau asing) yang sengaja menyengsarakan rakyat. Dalam konteks ini, kompromi dianggap sebagai pengkhianatan.
  2. Serangan terhadap institusi demokrasi: Institusi seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum, dan pers bebas sering kali menjadi target utama. Mengapa? Karena lembaga-lembaga ini berfungsi sebagai checks and balances (penyeimbang). Bagi pemimpin populis ekstrem, lembaga ini dianggap sebagai "penghalang kehendak rakyat".
  3. Personalisasi kekuasaan: Figur pemimpin populis sering kali dicitrakan sebagai pahlawan mesianik. Mereka mengklaim: "Hanya saya yang bisa memperbaiki sistem ini." Hal ini mengalihkan loyalitas publik dari institusi atau konstitusi menuju loyalitas buta kepada individu.

Mengapa populisme ekstrem membahayakan demokrasi?

Demokrasi bukan sekadar "aturan mayoritas" (majority rule). Demokrasi yang sehat adalah sistem yang melindungi hak minoritas, menghormati hukum, dan menjamin ruang dialog. Populisme ekstrem merusak prinsip-prinsip ini dengan beberapa cara:

  1. Erosi supremasi hukum: Ketika seorang pemimpin merasa memiliki mandat langsung dari "rakyat", mereka cenderung merasa berada di atas hukum. Jika pengadilan mengeluarkan keputusan yang tidak menguntungkan sang pemimpin, mereka akan menuduh hakim tersebut sebagai bagian dari "elit yang berkonspirasi". Ini merusak kepercayaan publik terhadap keadilan hukum.
  2. Pembungkaman pers dan kebebasan berpendapat: Pers adalah pilar keempat demokrasi. Populisme ekstrem sering kali melabeli media kritis sebagai "penyebar berita bohong" atau "pengkhianat bangsa". Akibatnya, arus informasi menjadi satu arah dan kontrol sosial terhadap pemerintah melemah.
  3. Matinya dialog publik: Dalam demokrasi, perbedaan pendapat adalah aset. Namun, populisme ekstrem mengubah lawan politik menjadi musuh eksistensial. Ketika masyarakat terbelah menjadi dua kamp yang saling membenci, musyawarah mufakat menjadi mustahil dilakukan. Yang tersisa hanyalah konflik dan ketegangan sosial.

Pelajaran dari panggung global

Sejarah mencatat banyak contoh bagaimana populisme ekstrem mampu meruntuhkan demokrasi dari dalam. Di Amerika Latin, kita melihat bagaimana beberapa pemimpin menggunakan retorika pro-rakyat untuk mengubah konstitusi demi memperpanjang masa jabatan mereka tanpa batas. 

Hugo Chávez (1999-2013) di Venezuela menggunakan retorika “pro-rakyat” untuk mengubah konstitusi, memperpanjang masa jabatan presiden, dan memperkuat kekuasaan eksekutif. Evo Morales di Bolivia mendorong referendum untuk memperpanjang masa jabatan presiden, dengan alasan mandat rakyat. Daniel Ortega di Nicaragua menghapus batas masa jabatan melalui Mahkamah Konstitusi, sehingga bisa terus maju dalam pemilu.

Di Eropa, bangkitnya gerakan ultranasionalis yang populis telah memicu diskriminasi terhadap imigran dan melemahkan kerja sama internasional.

Partai National Rally di Prancis mengusung agenda anti-imigran dan euroskeptis, menolak kerja sama internnasional yang dianggap merugikan kedaulatan nasional. AfD (Alternative für Deutschland) di Jerman, Gerakan Neo-Fasis di Italia, dan Sweden Democrats menunjukkan ciri-ciri populisme ekstrim: retorika anti-imigran, ultra nasionalis, xenofobia, dan menolak imigran.

Kekuatan populisme ekstrem terletak pada kemampuannya menyederhanakan masalah yang kompleks. Mereka menawarkan solusi instan untuk masalah pengangguran, ketimpangan ekonomi, atau kedaulatan bangsa dengan menunjuk satu "kambing hitam".

Strategi melawan populisme ekstrem

Demokrasi tidak boleh pasif dalam menghadapi ancaman ini. Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk memperkuat imunitas demokrasi kita:

  1. Memperkuat literasi politik: rakyat perlu memahami bahwa demokrasi membutuhkan proses dan prosedur, bukan sekadar janji manis pemimpin tunggal.
  2. Keadilan ekonomi: populisme ekstrem tumbuh subur di lahan ketimpangan. Dengan memperbaiki kesejahteraan ekonomi, daya tarik narasi "anti-elit" akan berkurang.
  3. Menjaga independensi lembaga: memastikan pengadilan dan pers tetap berintegritas adalah benteng terakhir melawan kesewenang-wenangan.
  4. Dialog lintas kelompok: mendorong komunikasi antara kelompok yang berbeda untuk meredam polarisasi dan membangun kembali rasa saling percaya sebagai sesama warga negara.

Kesimpulan

Populisme ekstrem adalah peringatan bahwa ada yang salah dalam sistem demokrasi kita. Ia adalah gejala dari rasa frustrasi rakyat yang merasa tidak didengar. Namun, obatnya bukanlah dengan memberikan kekuasaan absolut kepada satu individu.

Demokrasi yang kuat adalah demokrasi yang mampu mendengar suara rakyat tanpa harus menghancurkan pilar-pilar keadilan dan kebebasan. Tugas kita adalah memastikan bahwa "suara rakyat" tetap menjadi nyawa bagi kemajuan, bukan alat bagi tirani baru.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Etnografi Borneo: Membangun pemahaman tentang keberagaman Kalimantan

Rumpun Dayak ini pernah punya usulan nama IKN dan gedung-gedung penting

Argumen antropologis pentingnya warga Balik dan Paser di IKN tetap hidup berkomunitas

Speedboat ke pedalaman Mahakam

Speedboat ke pedalaman Mahakam
Martinus Nanang di dermaga Samarinda Ilir