Gaza Hancur Lebur, Kenapa Hamas Ngotot Tidak Mau Menyerah?

Konflik Israel-Palestina telah berlangsung puluhan tahun, tetapi intensitasnya semakin memanas dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah: Mengapa Hamas tetap bersikeras melanjutkan perlawanan, meskipun rakyat Palestina di Tepi Barat dan Gaza menderita luar biasa? 

Potret Pilu: Ketika Hidup jadi Taruhan Harian

Sejak eskalasi kekerasan Oktober 2023, Gaza telah berubah menjadi ladang penderitaan. Serangan udara Israel yang menghancurkan, blokade total, dan krisis kemanusiaan yang parah telah membuat 2,3 juta warga Gaza terjebak dalam lingkaran kesengsaraan. Berikut gambaran penderitaan mereka. Gambaran ini mungkin tidak akurat karena tidak dapat diverifikasi  karena adanya pembatasan-pembatasan akses oleh Israel.

Credit: Pixabay
Pertama, Korban Jiwa yang Terus Berjatuhan: 
Sampai Mei 2025 sekitar 45-50 ribu orang tewas (70% perempuan dan anak-anak) menurut PBB, dengan ribuan lainnya terkubur di reruntuhan (UN OCHA, Mei 2025).  Lelbih dari 120 ribu orang terluka atau cacat permanen (WHO, 2025).  Rumah sakit pun tidak aman: 35 fasilitas kesehatan hancur, dan pasien kanker serta dialisis terpaksa dirawat di tenda tanpa obat (MSF, 2024). 

Kedua, Kelaparan dan Krisis Air Bersih: Sekitar 90% populasi Gaza mengalami kelaparan akut, dengan anak-anak mati karena malnutrisi (WFP, April 2024).  Blokade Israel memblokir pasokan makanan dan bahan bakar, membuat harga 1 kg tepung meroket 500% (Oxfam, 2024).  Air bersih hampir tidak ada: hanya 5% air layak minum tersisa, memaksa warga meminum air laut atau air kotor yang memicu wabah kolera (UNICEF, 2024). 

Ketiga, Kehancuran Total Infrastruktur: Tidak kurang dari 70% rumah di Gaza rata dengan tanah, menyisakan 1,7 juta orang mengungsi di sekolah-sekolah PBB atau tenda darurat (UNRWA, 2024).  Listrik hanya menyala 2-3 jam per hari, sementara suhu musim panas mencapai 40°C tanpa pendingin ruangan (The Guardian, Mei 2024).  Jalan-jalan hancur, membuat ambulans tidak bisa menjangkau korban. Tim penyelamat sering menggali reruntuhan dengan tangan kosong (ICRC, 2024). 

Keempat, Trauma Psikologis yang Tak Terobati: Hampir semua anak Gaza mengalami gejala Post-traumatic Stress Disorder (PTSD; gangguan stress pascatrauma) seperti mengompol, mimpi buruk, dan ketakutan saat mendengar suara pesawat (Save the Children, 2024).  Generasi yang selamat disebut "anak-anak yang kehilangan masa kecil"—banyak yang menjadi yatim piatu atau cacat permanen (Amnesty, 2024).  Tidak ada ruang aman: serangan terus terjadi bahkan di zona evakuasi yang ditunjuk PBB (Human Rights Watch, 2024). 

Kelima, Masa Depan yang Suram: Sekolah dan universitas hancur, merampas hak pendidikan 625.000 anak (UNESCO, 2024).  Ekonomi lumpuh: 80% penduduk kehilangan mata pencaharian, dengan pengangguran meroket ke 95% (World Bank, 2024).  Rekonstruksi diperkirakan butuh 30 tahun, tetapi tanpa gencatan senjata yang permanen, penderitaan akan terus berlanjut (UNDP, 2024). 

Lalu, Kenapa Hamas Tetap Ngotot?

Untuk memahami hal ini, kita perlu melihat dari sudut pandang sejarah, ideologi, strategi politik, dan psikologi perjuangan Hamas. 

1. Hamas Bukan Sekadar Kelompok Bersenjata, Tapi Gerakan Perlawanan yang Mengakar 

Hamas (Harakat al-Muqawama al-Islamiyya: Gerakan Perlawanan Islam) didirikan pada 1987 sebagai bagian dari gerakan Ikhwanul Muslimin. Berbeda dengan Fatah yang lebih sekuler dan mendukung solusi dua negara, Hamas menolak pengakuan terhadap Israel dan berkomitmen pada perjuangan bersenjata (Mishal & Sela, 2006). 

Faktor-faktor yang membuat Hamas tidak mau menyerah: 

  • Legitimasi sebagai "Pelindung Palestina": Hamas memposisikan diri sebagai satu-satunya kekuatan yang konsisten melawan Israel. Mereka menuduh Fatah dan Otoritas Palestina (PA) terlalu lemah dan korup karena berkompromi dengan Israel (Gunning, 2009). 
  • Dukungan rakyat Gaza: Meski banyak warga Gaza yang menderita akibat blokade dan perang, sebagian besar tetap melihat Hamas sebagai simbol perlawanan. Menyerah berarti mengkhianati ribuan syuhada yang gugur (Hroub, 2010). 
  • Narasi "Islam vs penjajahan": Hamas membingkai konflik ini sebagai perjuangan suci (jihad) melawan penjajahan Zionis. Ini membuat kompromi dianggap sebagai pengkhianatan terhadap agama (Roy, 2011). 

 2. Trauma Sejarah: Kegagalan Perdamaian Oslo dan Pengkhianatan yang Dirasakan 

Perjanjian Oslo I  (1993) memuat pengakuan timbal balik antara Palestina dan Israel: Israel mengakui PLO (Palestinian Liberation Organzation) sebagai wakil Palestina dan Palestina mendapat otonomi terbatas. Sebaliknya Palestina mengakui hak Israel untuk eksis. Untuk itu “penghancuran Israel” dihapus dari Piagam Nasional Palestina. Perjanjian Oslo II (1995) menetapkan pembagian wilayah Tepi Barat menjadi tiga zona.

Perjajian tersebut telah diharapkan membawa perdamaian, tetapi justru dianggap sebagai kegagalan oleh banyak Palestina. Mengapa? Karena: 

  •  Pemukiman Israel terus meluas di Tepi Barat, sementara Otoritas Palestina dianggap tidak mampu menghentikannya (Sayigh, 2011). 
  • Hamas menolak Perjanjian Oslo sejak awal karena dianggap melegitimasi Israel tanpa jaminan negara Palestina yang merdeka (International Crisis Group, 2023). 
  • Kekecewaan terhadap Fatah: Banyak warga Palestina frustrasi dengan korupsi dan ketidakmampuan Fatah mencapai kemerdekaan (BBC, 2023). 
  • Bagi Hamas, "perjuangan bersenjata adalah satu-satunya jalan" karena diplomasi dianggap sudah gagal (Khaled Meshaal, 2018). 

 3. Blokade Gaza: Penderitaan Rakyat Justru Memperkuat Hamas?

Sejak 2007, Gaza dikepung oleh blokade Israel-Mesir. Ekonomi hancur, pengangguran tinggi, dan listrik hanya menyala beberapa jam sehari (UNRWA, 2023). Namun, anehnya, penderitaan ini tidak melemahkan Hamas, malah memperkuat narasi perlawanannya. 

  • Kami dihukum karena melawan: Hamas menyatakan bahwa penderitaan Gaza adalah bukti bahwa Israel tidak menginginkan perdamaian, hanya penaklukan (Al Jazeera, 2023). 
  • Bantuan internasional & jaringan pendukung: Hamas mendapat dukungan finansial dan politik dari Iran, Qatar, Turki, dan kelompok Islam global (CFR, 2023).  Iran menjadikan Hamas sebagai salah satu poros perlawanan dengan memberikan bantuan peralatan militer, keuangan, politik, dan pelatihan. Menurut U.S. Treasury (2023) Iran telah mengirim USD100-300 juta. Qatar memberikan bantuan keuangan dan kemanusiaan. Sejak 2018 Qatar mengirim USD30-50 juta per bulan untuk gaji Hamas dan keperluan lain. Qatar juga menjadi mediator pembicaraan damai antara Israel dan Hamas. Selain itu Qatar membiayai kantor Hamas dan melindungi tokoh seperti Ismail Haniyeh di negara itu. Turki sejak 2011 mengijinkan kantor politik Hamas beroperasi di Istanbul. Turki juga memberi bantuan logistik dan kemanusiaan.
  • Tidak ada alternatif yang kredibel: Jika Hamas menyerah, siapa yang akan memimpin perlawanan? Fatah sudah dianggap terlalu lemah (The Washington Institute, 2022).  Hamas dianggap satu-satunya  yang sanggup memimpin Gaza.

 4. Israel Tidak Memberikan Insentif untuk Berdamai 

Hamas mungkin akan melemah jika ada harapan nyata untuk perbaikan hidup rakyat Palestina. Namun, kebijakan Israel justru sering memperburuk situasi (Amnesty International, 2023): 

  • Ekspansi pemukiman Yahudi di Tepi Barat terus berlanjut, membuat solusi dua negara semakin mustahil (Haaretz, 2023). 
  • Pembunuhan targeted terhadap pemimpin Hamas justru memunculkan generasi militan baru yang lebih radikal (The Guardian, 2023).  Beberapa pemimpin penting Hamas yang dibunuh sejak 7 Oktober 2023 di antaranya Ismail Haniyeh, Yahya Sinwar, Muhammad Sinwar, Marwan Issa, dan Muhammad Deif.
  • Kekerasan oleh pemukim Yahudi di Tepi Barat sering tidak dihukum, memperkuat kebencian terhadap Israel (Human Rights Watch, 2023). 
  • Dengan situasi seperti ini, Hamas bisa berkata: "Lihat, Israel tidak mau damai, jadi kami harus terus melawan!" (Ismail Haniyeh, 2023). 

 5. Hamas Memiliki Strategi Jangka Panjang: "Kami Bisa Menunggu" 

Hamas sadar bahwa mereka tidak bisa mengalahkan Israel secara militer. Tapi mereka percaya pada strategi (Brookings Institution, 2021): 

·       Pertama, menunggu perubahan geopolitik: Jika AS atau sekutu Israel melemah, Hamas bisa mendapat kesempatan.  Harapan ini sangat tipis karena perkembangan terakhir menunjukkan melemahnya pengaruh Iran di Lebanon dan Syria. Proxy Iran, Hisbullah, sudah babak belur dan Houthi juga sudah kurang bertaji. Sementara itu dukungan Russia dan China mungkin diharapkan, tetapi dua negara itu tidak punya ketertarikan membantu Hamas. China, misalnya, lebih tertarik pada bantuan yang mendukung kelancaran perdagangan.

·      Kedua, mengandalkan solidaritas dunia Islam: Dukungan dari Iran, Hizbullah, dan gerakan Islam global memberi mereka sumber daya.  Dukungan utama telah dijelaskan di muka. Tetapi secara geopolitik Hamas mungkin mendapat dukungan yang lebih luas dari dunia Islam. Tetapi dukungan itu tidak memiliki pengaruh kuat.

·       Ketiga, memperjuangkan "kemenangan moral: Meski kalah secara militer, mereka ingin dikenang sebagai pejuang yang tidak pernah menyerah.  Kemenangan adalah kemenangan dalam hal persepsi dan pengaruh. Hamas mungkin kalah secara langsung dalam pertempuran dan konflik dengan Israel, mereka berharap dapat menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang lebih besar dan lebih kuat, menumbuhkan rasa kebanggaan nasional atau perjuangan di kalangan masyarakat Palestina dan negara-negara yang mendukung mereka.

Mereka juga mengharapkan dampak psikologis yang bisa memengaruhi opini publik internasional dan memberikan tekanan pada pemerintah Israel atau sekutunya

 6. Jika Hamas Menyerah, Apa yang Akan Terjadi? 

Banyak analis bertanya: Mengapa Hamas tidak meletakkan senjata dan berfokus pada pembangunan Gaza? Jawabannya kompleks (The New York Times, 2023): 

  • Mereka takut dihancurkan seperti Fatah: Jika Hamas melemah, Israel mungkin akan menyerang sisa-sisa kekuatan mereka.
  • Tidak ada jaminan blokade akan dicabut: Israel bisa saja tetap membatasi Gaza meski Hamas menyerah. 
  • Kehilangan dukungan rakyat: Jika Hamas berkompromi, mereka bisa dilihat sebagai pengkhianat dan digantikan kelompok yang lebih radikal (Islamic Jihad).  

Singkatnya, Perlawanan adalah Identitas Hamas 

Hingga saat naskah ini ditulis Hamas masih bertahan dan tidak mau menyerah. Secara singkat, hal ini disebabkan oleh identitas Hamas sendiri yang tentunya mendapat dukungan internasional. Hamas adalah gerakan perlawanan ideologis, politik, dan militer.  

Ideologi mereka dibangun di atas perlawanan, bukan diplomasi (Mishal & Sela, 2006). Mereka percaya bahwa penderitaan rakyat Palestina adalah akibat penjajahan Israel, bukan karena perlawanan mereka (Roy, 2011).   Mereka tidak melihat alternatif yang lebih baik (International Crisis Group, 2023). 

Selama Israel tidak memberikan solusi nyata bagi kemerdekaan Palestina, dan selama rakyat Gaza masih melihat Hamas sebagai simbol perlawanan, kelompok ini akan tetap bertahan—meski harus mengorbankan lebih banyak nyawa. 

Akhirnya, selama akar konflik (pendudukan, blokade, dan ketidakadilan), dan ideologi suci pemusnahan Israel, masih ada, Hamas—atau kelompok serupa—akan terus muncul. 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Argumen antropologis pentingnya warga Balik dan Paser di IKN tetap hidup berkomunitas

Dialog Etnografi Borneo: Membangun Pemahaman tentang Keberagaman Kalimantan

Rumpun Dayak ini pernah punya usulan nama IKN dan gedung-gedung penting

Speedboat ke pedalaman Mahakam

Speedboat ke pedalaman Mahakam
Martinus Nanang di dermaga Samarinda Ilir