“Living Museum” dan Kekerasan Simbolik bagi Suku Asli di Ibu Kota Nusantara

Ketika Ibu Kota Nusantara (IKN) digagas sebagai simbol masa depan Indonesia, narasi yang diangkat adalah tentang kemajuan, keberlanjutan, dan harmoni antara manusia dan alam. Namun di balik retorika hijau dan modernitas itu, ada suara-suara yang terancam tenggelam: suara masyarakat adat, termasuk suku Balik, yang telah lama tinggal dan menjaga tanah itu jauh sebelum ide IKN lahir.

Niat baik OIKN

Suara suku Balik itu telah sampai ke telinga Badan Otorita IKN (OIKN). Sebagai respon dan dengan niat luhur dicanangkanlah sebuah museum hidup (living museum) bagi orang Balik. Dari laporan iknpos.id 2 Juli 2024 Deputi Sosial, Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat OIKN, Bapak Alimuddin, mengatakan, “Wilayah Paser Balik akan kita jadikan living museum.” Lebih lanjut, “Pembangunan ibu kota baru bagi NKRI di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dipastikan akan seiring dan sejalan dengan kehidupan sosial warga lokal.”

Pada halaman berita yang sama dikatakan bahwa Tokoh suku Balik Sibukdin menyambut baik rencana tersebut. “Kami gembira kalau ruang hidup kami tidak terganggu, bahkan diperkuat. Misal dijadikan desa adat atau desa wisata, atau kalau sesuai rencana, living museum katanya.”

Saya melihat bahwa OIKN mempunyai niat baik dan karenanya saya bertahan pada anggapan bahwa masyarakat adat suku Balik di IKN tidak akan dimarginalkan, sampai terbukti sebaliknya.

Tetapi niat baik tidak selalu bebas dari glitch atau kekeliruan. Kekeliruan inilah yang saya lihat di dalam penggunaan istilah living museum untuk merujuk pada komunitas adat di kawasan IKN. Itu sekilas terdengar positif, merupakan sebuah bentuk penghormatan pada budaya lokal. Tapi benarkah demikian?

Apa Itu “Living Museum”?

Dalam dunia museologi dan pariwisata, istilah living museum merujuk pada situs di mana budaya ditampilkan dalam bentuk pertunjukan yang hidup: rumah-rumah tradisional, pakaian adat, makanan khas, dan ritual dijalankan secara berkala, sering kali demi konsumsi wisatawan atau pendidikan publik. Kadang, masyarakat lokal memang terlibat aktif dalam mengatur hal ini. Namun tidak jarang mereka hanya menjadi "pemeran" dalam sebuah panggung budaya yang dikurasi oleh pihak luar.

Ketika istilah ini digunakan untuk menyebut komunitas seperti suku Balik, persoalannya menjadi jauh lebih serius. Suku Balik tidak sedang memainkan peran dalam sebuah pertunjukan; mereka hidup nyata, dengan dinamika sosial, politik, dan budaya yang terus bergerak. Menyematkan istilah “living museum” pada mereka berarti menyamakan kehidupan mereka dengan artefak budaya yang diawetkan, dipertontonkan, dan dinilai berdasarkan eksotisme.

Dari Representasi ke Reduksi

Penggunaan istilah ini menggambarkan pola pikir yang menurunkan eksistensi masyarakat adat menjadi sekadar representasi budaya. Kehidupan mereka yang seharusnya dihormati sebagai bagian dari keberagaman sosial dan politik bangsa, justru direduksi menjadi “warisan” atau “atraksi”. Mereka tidak dilihat sebagai warga negara penuh, melainkan sebagai pelengkap lanskap budaya yang menarik untuk dipromosikan dalam brosur pariwisata.

Hal ini membawa risiko dehumanisasi: masyarakat adat dijadikan objek visual, bukan subjek yang punya hak berbicara dan menentukan masa depan. Konsep living museum membekukan mereka dalam narasi masa lalu, seolah-olah tugas utama mereka adalah menjaga “tradisi” demi kepentingan orang luar, bukan menjalani hidup secara otonom.

Warisan Kolonial yang Masih Hidup

Penting untuk diingat bahwa konsep “living museum” tidak lahir dari ruang kosong. Ia punya akar dalam sejarah kolonial, ketika masyarakat dari daerah jajahan dijadikan bahan pameran dalam human zoo atau pameran antropologis di Eropa. Orang-orang Afrika, Asia, dan Pasifik dipamerkan dalam kandang atau paviliun yang dibuat menyerupai tempat tinggal mereka, untuk menunjukkan bagaimana “primitif”-nya mereka dibandingkan bangsa Eropa.

Meskipun bentuknya kini jauh lebih halus dan dibungkus dalam istilah pelestarian budaya, logika dasar itu tetap hidup: masyarakat adat tidak dilihat sebagai bagian dari masa depan, melainkan sebagai simbol masa lalu yang harus dipelihara, bukan untuk mereka sendiri, tetapi demi estetika dan nostalgia orang lain.

Romantisasi Tanpa Keadilan

Ironisnya, masyarakat adat sering kali dirayakan sebagai “penjaga hutan”, “penjaga kearifan lokal”, bahkan “jiwa Nusantara”. Namun perayaan itu sering tidak diiringi dengan pengakuan dan keadilan. Mereka dipuji, tapi tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Mereka ditampilkan, tapi tidak diberi ruang untuk berbicara.

Dalam kasus IKN, romantisasi ini sangat nyata. Suku-suku asli seperti suku Balik diundang untuk tampil dalam seremoni, dipotret sebagai penjaga alam dan budaya lokal, namun dalam praktiknya sering dipinggirkan dari wacana pembangunan. Proses ini berjalan puluhan tahun jauh sebelum ada IKN. Kehadrian IKN membuat mereka makin ketar ketir. 

Apakah suara mereka benar-benar didengar ketika wilayah adat mereka diubah menjadi pusat pemerintahan? Apakah mereka diberi ruang untuk mengatakan “tidak” ketika tanah mereka dialihfungsikan? Saya melihat OIKN punya niat dan upaya positif. Hanya memang ada hal yang masih perlu didiskusikan atau dikritisi.

Budaya Bukan Artefak, Melainkan Proses

Budaya atau kebudayaan bukan benda mati yang dipajang. Budaya adalah proses hidup yang berubah, berkembang, dan bernegosiasi dengan zaman. Masyarakat adat tidak tinggal diam dalam tradisi yang beku. Mereka beradaptasi, memilih, menyusun ulang nilai-nilai, dan bahkan menciptakan inovasi baru berdasarkan pengalaman mereka.

Menempatkan mereka dalam kategori living museum berarti menolak kemungkinan mereka untuk berubah. Mereka hanya akan dianggap "asli" jika tetap seperti dulu. Jika mulai menggunakan teknologi, menuntut hak politik, atau berbicara tentang hak tanah, mereka bisa dicap “tidak otentik”. Padahal, keaslian bukan soal tetap diam di masa lalu, tapi soal keberlanjutan martabat dalam dunia yang terus berubah.

Alternatif: Representasi yang Setara dan Partisipatif

Kita perlu mengganti cara berpikir. Daripada menyematkan label “living museum” yang menyudutkan, lebih baik kita memandang masyarakat adat sebagai komunitas hidup yang berhak menentukan masa depan mereka sendiri. Mereka bukan ornamen pembangunan, melainkan subjek politik yang setara.

Artinya, pemerintah dan masyarakat luas harus:

  • Mengakui hak tanah adat secara legal dan tidak semata berdasarkan proyek pelestarian budaya.
  • Melibatkan komunitas adat dalam proses pembangunan, bukan hanya sebagai simbol, tapi sebagai aktor pengambil keputusan.
  • Menghindari istilah atau narasi yang mereduksi eksistensi mereka, dan menggantinya dengan narasi yang mengakui kompleksitas kehidupan masyarakat adat.
  • Memberikan dukungan nyata dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai mereka sendiri.

Dari Simbol ke Subjek

Istilah “living museum” mungkin terlihat tidak berbahaya. Tapi dalam kerangka ketimpangan relasi kekuasaan, ia mengandung "bahaya simbolik" yang besar. Ia membuat manusia hidup menjadi tontonan. Ia memenjarakan komunitas adat dalam bingkai yang dibuat bukan oleh mereka sendiri.

Kita tidak sedang membangun ibu kota di tanah kosong. Kita sedang membangun di atas sejarah panjang kehidupan masyarakat adat yang punya nama, bahasa, tanah, dan nilai-nilai sendiri. Maka, sudah saatnya kita mengubah pendekatan: dari memamerkan mereka, menjadi mendengarkan mereka; dari menjadikan mereka simbol, menjadi menghormati mereka sebagai subjek sejarah dan masa depan bangsa ini.

Apa istilah yang lebih layak?

Pada awal proses IKN di Kabupaten PPU saya sudah mengusulkan istilah "desa budaya" (cultural village). Namun kemudian saya sadar bahwa istilah itu bisa mengandung makna negatif pula, bila kata budaya tidak dipahami secara benar sebagaimana seorang hali antropologi memahaminya. Orang Balik nanti bisa menjadi obyek tontonan budaya belaka. 

Jadi sekarang saya berpikir tentang istilah yang lebih manusiawi, yang bagus dan tidak mengandung makna kekerasan simbolik. Bagaimana dengan istilah masyarakat lokal otonom, penjaga tanah dan buaya, kemunitas adat yang hidup, atau masyarakat suku Balik saja? Mari brainstorm!


Catatan kaki:

Berita tentang living museum ini sudah lama beredar dan saya pun mendengarnya setahun yang lalu. Seharusnya pada waktu itu saya sudah menulis tanggapan ini. Tapi waktu itu hal ini tidak menjadi perhatian serius. Lagi pula, sejak September 2024 saya tidak lagi banyak mengamati perkembangan di IKN. Baru beberapa hari terakhir saya baca-baca lagi dan istilah ini langsung menarik perhatian saya dan mendorong saya untuk berbagi pandangan.

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Etnografi Borneo: Membangun Pemahaman tentang Keberagaman Kalimantan

Argumen antropologis pentingnya warga Balik dan Paser di IKN tetap hidup berkomunitas

Rumpun Dayak ini pernah punya usulan nama IKN dan gedung-gedung penting

Speedboat ke pedalaman Mahakam

Speedboat ke pedalaman Mahakam
Martinus Nanang di dermaga Samarinda Ilir