Laut Berteriak, Ini Jawaban dari Konferensi Kelautan di Nice 2025
Lautan kita sedang berteriak minta tolong. Dari tumpukan 11 juta ton plastik yang mencekik kehidupan laut setiap tahun, stok ikan yang menipis hingga 90%, hingga terumbu karang yang memutih akibat pemanasan global. Krisis ini bukan lagi sekadar data di laporan ilmiah, melainkan ancaman nyata bagi pangan, iklim, dan kelangsungan hidup miliaran manusia.
Menjawab panggilan darurat ini, para pemimpin dunia, ilmuwan, aktivis, dan pelaku industri berkumpul di Nice, Prancis, untuk Konferensi Kelautan PBB (9-13 Juni 2025). Tujuannya bukan sekadar berdiskusi, tetapi memetakan jalan keluar dari krisis. Setelah bertahun-tahun janji yang tak kunjung terwujud, apakah konferensi ini mampu memberikan hasil nyata?
Berikut adalah
poin-poin kunci yang lahir dari pertemuan penting di pesisir Mediterania ini.
1. Deklarasi Nice: Janji Politik untuk Aksi
Bersama
Konferensi ini tidak
menghasilkan perjanjian yang mengikat secara hukum, tetapi melahirkan Deklarasi Nice. Ini adalah sebuah
komitmen politik yang kuat, ditandatangani oleh puluhan negara, yang menegaskan
kembali niat bersama untuk:
- Melindungi
30% lautan dunia pada tahun 2030 (Target "30x30").
- Menerapkan prinsip kehati-hatian terhadap penambangan laut dalam yang
kontroversial.
- Mendukung penghapusan subsidi yang
mendorong praktik perikanan merusak.
Meskipun bersifat
sukarela, deklarasi ini menjadi kompas moral dan diplomatik yang akan
mengarahkan kebijakan kelautan global di tahun-tahun mendatang.
2. Perjanjian Laut Lepas: Selangkah Lebih Dekat
Menuju Kenyataan
Salah satu terobosan
terbesar adalah dorongan untuk meratifikasi Perjanjian Laut Lepas (High Seas Treaty) yang bersejarah. Lebih
dari 60 negara berkomitmen untuk meratifikasinya sebelum akhir 2025.
Mengapa ini penting? Jika target 60 negara tercapai, perjanjian ini
dapat mulai berlaku pada awal 2026. Ini akan membuka jalan untuk pertama
kalinya bagi pembentukan kawasan konservasi laut di perairan
internasional—wilayah yang selama ini dianggap "tanpa hukum" dan
rentan dieksploitasi.
3. Target '30x30' Diperkuat, Fokus Beralih ke
Kualitas
Komitmen untuk
melindungi 30% lautan pada 2030 mendapat dorongan baru. Negara-negara seperti
French Polynesia, Panama, dan Fiji mengumumkan perluasan kawasan perlindungan
laut (Marine Protected Areas/MPA) mereka secara signifikan. Contohnya, French
Polynesia berjanji akan melindungi wilayah seluas 5 juta km².
Namun, konferensi ini juga menyoroti tantangan besar: dari seluruh kawasan yang sudah dilindungi, hanya 2-8% yang benar-benar dikelola secara efektif. Fokus ke depan bukan hanya soal luas wilayah, tetapi memastikan perlindungan itu nyata dan berkualitas.
4. Uang untuk Lautan: Gelombang "Pendanaan
Biru" Dimulai
Aksi butuh biaya.
Konferensi Nice berhasil memobilisasi pendanaan signifikan:
- Clean
Oceans Initiative
mencapai target €4 miliar untuk
mendanai proyek-proyek pembersihan laut dan pengelolaan limbah.
- PBB meluncurkan Kerangka Pendanaan Biru (Blue Finance Framework) untuk
membantu negara berkembang mengakses modal untuk ekonomi biru
berkelanjutan.
- Komitmen untuk menerbitkan obligasi biru (blue bonds) semakin
kuat, terutama untuk mendukung negara-negara kepulauan di Pasifik dan
Karibia.
5. Lampu Merah untuk Penambangan Laut Dalam?
Isu penambangan di
dasar laut dalam menjadi perdebatan panas. Banyak negara, didukung oleh ratusan
ilmuwan dan LSM, menyerukan moratorium
global (penundaan). Alasannya, kita belum cukup tahu tentang ekosistem unik
di laut dalam dan dampak destruktif yang bisa ditimbulkan oleh penambangan.
Meskipun belum ada
larangan resmi, tekanan ini berhasil memperkuat narasi bahwa dunia harus
menunda eksploitasi sampai ada kajian ilmiah yang komprehensif.
6. Sains dan Teknologi sebagai Garda Terdepan
Masa depan
perlindungan laut akan digerakkan oleh teknologi. Konferensi ini menyoroti
berbagai inovasi mutakhir, seperti:
- Kecerdasan
Buatan (AI) untuk
memantau kapal dan mendeteksi penangkapan ikan ilegal.
- Proyek "Digital Twin of the Ocean" dari Mercator Ocean
International yang menciptakan kembaran digital laut untuk simulasi dan
prediksi.
- Target UNESCO untuk memetakan 80% dasar laut dunia pada 2030, sebuah langkah
fundamental untuk memahami dan melindunginya.
Peta Jalan Menuju 2028
Konferensi Nice bukanlah puncak, melainkan titik awal. Pertemuan ini menetapkan peta jalan menuju Ocean Summit berikutnya yang juga akan diadakan di Nice pada 2028. Forum mendatang itu akan menjadi ajang evaluasi: Sejauh mana implementasi Perjanjian Laut Lepas? Apakah target 30x30 tercapai? Dan bagaimana memastikan pendanaan jangka panjang untuk samudera yang sehat?
Konferensi Laut di Nice berhasil mengubah momentum. Dari sekadar diskusi
tentang "mengapa" laut harus diselamatkan, dunia kini beralih ke
"bagaimana" cara melakukannya. Dengan menyatukan komitmen politik,
pendanaan, sains, dan teknologi, pertemuan ini memberikan harapan bahwa kita
masih punya kesempatan untuk memulihkan jantung biru planet kita. Tugas berat
menanti, tetapi langkah pertama yang solid telah diambil.
Jalan Masih Terjal: Suara Kritis dari Nice
Di tengah optimisme, banyak aktivis lingkungan dan negara berkembang
menyuarakan kekecewaan. Mereka menilai konferensi ini gagal mengatasi isu-isu
paling fundamental.
- Gajah di Dalam
Ruangan: Absennya Isu Bahan Bakar Fosil
Kritik paling tajam adalah kegagalan konferensi untuk membahas peran industri bahan bakar fosil. Banyak pihak kecewa karena konferensi seolah mengobati gejala (seperti pemutihan karang) tanpa menyentuh akar penyakitnya: emisi karbon yang menjadi penyebab utama pemanasan dan pengasaman laut. - Janji
Pendanaan yang Dianggap Belum Cukup
Meskipun ada mobilisasi dana, negara-negara berkembang dan kepulauan kecil merasa jumlahnya belum sepadan dengan skala ancaman yang mereka hadapi. Mereka berharap ada komitmen keuangan yang lebih besar dan konkret untuk adaptasi kenaikan permukaan air laut dan mengatasi krisis perikanan di wilayah mereka. - Langkah
Simbolis Melawan Plastik
Seruan dari lebih 90 menteri untuk membatasi produksi plastik baru memang terdengar kuat, namun langkah ini tidak mengikat secara hukum. Kritikus menyoroti bahwa tanpa sanksi yang jelas, komitmen ini rentan dimentahkan oleh negara-negara produsen minyak yang menjadi bahan baku plastik, menjadikannya lebih bersifat simbolis daripada transformatif. - Di Balik
Layar: Bayang-Bayang Politik Global
Konferensi ini juga menjadi panggung penegasan kembali pentingnya kerja sama multilateral dan sains. Secara tidak langsung, ini dibaca sebagai kritik terhadap pendekatan unilateral dan skeptis terhadap sains yang pernah dianut oleh beberapa pemimpin dunia, seperti Presiden AS Donald Trump.
Kesimpulan: Antara Harapan dan Realitas
Konferensi Laut di Nice adalah cerminan dari dilema global saat ini:
ada kemajuan yang nyata, namun di saat yang sama, ada pula kekecewaan yang
beralasan. Pertemuan ini berhasil menyatukan komitmen politik, pendanaan, dan
sains, namun juga memperlihatkan betapa sulitnya menyentuh akar masalah seperti
bahan bakar fosil.
Peta jalan menuju Ocean Summit 2028 di Nice telah ditetapkan. Dunia
akan mengawasi dengan saksama, apakah janji-janji di pesisir Prancis ini akan
menjadi gelombang perubahan nyata atau sekadar riak di permukaan samudra yang
masih terluka.
Komentar
Posting Komentar