Tiga efek samping ini harus diantisipasi dalam proses pembangunan IKN Nusantara

Pembangunan Ibukota Negara (IKN) di Kalimantan Timur mendapat perhatian serius dari para ahli ilmu sosial. Untuk itu Konferensi Nasional Sosiologi IX di Balikpapan kemarin (2 Juni 2022) mengambil tema khusus tentang IKN: "Pendekatan sosial pemindahan ibu kota negara." 

Kongres Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia (APSSI) IV yang diadakan bersamaan menetapkan tema: "Kontribusi APSSI dalam proses pemindahan ibu kota nagara".

Martinus Nanang, Prof. Afrizal, Dr. Ida Ruwaida, Erika Siluq, Prof. Bagong Suyanto (Foto: Maru-Maru)

Prof. Bagong Suyanto dari Universitas Airlangga mengingatkan adanya kemungkinan tiga efek samping (adverse effects) dari IKN yang harus dicermati. Efek tersebut dapat timbul dalam jangka pendek sampai panjang, secara langsung atau tidak langsung. 

Pertama, apakah IKN akan menguntungkan masyarakat dan membawa pemerataan manfaat bagi warga lokal. Jangan-jangan "kalau IKN makin bagus, orang Kalimantan tidak bisa kagi jualan di sana", ujarnya. 

Kedua, infiltrasi, invasi dan suksesi. Mula-mula orang datang dulu, lalu merambah, dan akhirnya mengambil alih semua akses ke sumberdaya lokal. Hal ini telah terjadi dengan Kampung Inggris di Kediri  Jawa Timur. Menghadapi dampak negatif seperti itu kekuatan kelembagaan negara harus melindungi warga setempat agar tidak menjadi korban.

Ketiga, risiko gegar budaya (culture shock). IKN sudah pasti akan membawa gaya hidup baru, yang mungkin saja bertentangan dengan budaya lokal, misalnya konsumerisme, budaya permisif, kekerasan, dll. Menurut Prof. Bagong diperlukan semacam "keangkuhan penduduk lokal" untuk menghadapi hal ini. 

Martinus Nanang dalam paparan tentang posisi masyarakat adat di IKN menyatakan isu-isu yang terdeteksi di lapangan sekarang cocok dengan kerangka efek samping ini. Istilah "keangkuhan penduduk lokal", bila dimaknai secara luas, dapat berarti hak masyarakat adat untuk memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya. Di sini Erika Siluq dari Gerakan Pemuda Dayak Kaltim dapat memberikan kontribusi besar melalui gerakan advokasi masyarakat adat. 

Dalam diskusi yang dipandu Dr. Ida Ruwaida (Universitas Indonesia) ini juga Prof. Afrizal dari Universitas Andalas menjelaskan tiga pola umum penyebab konflik agraria. Ketiganya adalah penentangan warga lokal terhadap proyek, penolakan pembebasan tanah meskipun proyek diterima, dan penentangan terhadap dampak proyek (masalah lingkungan). 

Menurut Prof. Afrizal kalimat kunci tentang penyebab isu agraria adalah "ignoransi penyelenggara pembangunan terhadap sistem tenurial lokal." Ini berarti lack of knowledge or information (kurangnya pengetahuan atau informasi). 

Isu pertanahan merupakan isu penting dalam proses pembangunan IKN sekarang; apalagi isu ini sudah muncul jauh sebelum diputuskannya rencana pemindahan IKN ke Kalimantan Timur.

Komentar

  1. Pentingnya penyatuan komitmen tentang keseimbangan terhadap tumbuh dan keberadaan kearifan lokal harus mendapatkan porsi yang lebih adalah sebuah keniscayaan .

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Argumen antropologis pentingnya warga Balik dan Paser di IKN tetap hidup berkomunitas

Dialog Etnografi Borneo: Membangun Pemahaman tentang Keberagaman Kalimantan

IKN benar-benar inklusif? Ultimatum pembongkaran rumah warga asli indikasi ada yang akan disingkirkan

Speedboat ke pedalaman Mahakam

Speedboat ke pedalaman Mahakam
Martinus Nanang di dermaga Samarinda Ilir