Menjaga nafas hutan Bukit Soeharto: Catatan sosialisasi KHDTK Universitas Mulawarman

 Jalan poros yang terlupakan

Sejak jalan tol Samarinda–Balikpapan resmi dibuka Agustus 2021, saya hampir tidak pernah lagi melewati jalan poros lama yang menghubungkan kedua kota. Jalan tol memang menawarkan kecepatan dan kenyamanan, tetapi hari ini, 4 Desember, saya kembali melintasi jalur poros bersama tim dari Pusrehut Universitas Mulawarman menuju Stasiun Penelitian Hutan Tropis Lembab di pertengahan jarak Samarinda-Balikpapan . Perjalanan singkat itu itu justru membuka mata saya pada kenyataan pahit: di sepanjang pinggir jalan, hutan kawasan Bukit Soeharto yang dulu rimbun kini tampak semakin banyak ditebangi.

Bukit Soeharto bukan sekadar hamparan pepohonan. Ia adalah kawasan hutan pendidikan dan penelitian Universitas Mulawarman (Unmul), sebuah laboratorium alam yang menyimpan kekayaan biodiversitas tropis. Kawasan itu disebut KHDTK (Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus). Melihat batang-batang pohon tumbang dan lahan yang terbuka, hati saya tercekat. Ada rasa kehilangan yang sulit diungkapkan.

Urgensi mempertahankan hutan

Kawasan hutan ini tidak bisa dipandang sebagai ruang kosong yang bebas dieksploitasi. Kawasan ini adalah benteng ekologi, sumber pengetahuan, dan penopang kehidupan masyarakat sekitar. Mempertahankan keberadaannya adalah keharusan, bukan pilihan. Dan urgensinya tidak bisa ditunda lagi.

Hari ini, kebetulan saya menghadiri sebuah sosialisasi penting yang digelar di Stasiun Pusat Penelitian Hutan Tropis Lembab Unmul, di kawasan KHDTK Unmul tersebut. Sosialisasi ini menjadi ruang pertemuan antara akademisi, pengelola hutan, dan masyarakat sekitar untuk membicarakan masa depan hutan Bukit Soeharto.

Suasana Sosialisasi

Sekitar 30 warga dari lingkungan terdekat KHDTK hadir. Mereka datang dengan wajah penuh rasa ingin tahu, sebagian membawa keresahan, sebagian lagi membawa harapan. Narasumber utama adalah Prof. Dr. Paulus Matius dan Dr. Djumali, dua akademisi yang telah lama berkecimpung dalam isu pelestarian hutan. Sarifudin, selain menjadi organizer kegiatan ini juga tampil sebagai narsumber sosialisasi. 

Paparan mereka menekankan pentingnya menjaga hutan sebagai kawasan konservasi dan pendidikan. Mereka mengingatkan bahwa hutan bukan hanya milik generasi sekarang, tetapi juga titipan untuk anak cucu.

Aspirasi warga

Setelah pemaparan, suasana menjadi hidup. Para peserta antusias menyampaikan aspirasi, pertanyaan, bahkan pernyataan yang mencerminkan kegelisahan mereka.

  • Ada yang menanyakan tentang informasi pembagian lahan dua hektar per kepala keluarga.
  • Mereka ingin tahu bagian mana yang masih boleh diusahakan untuk kebun.
  • Ada pula yang dengan jujur mengakui bahwa mereka sadar tinggal di kawasan konservasi, lalu bertanya tentang solusi bagi anak-anak mereka yang membutuhkan lahan atau pekerjaan di masa depan.

Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak menolak konservasi, tetapi mereka membutuhkan kejelasan dan kepastian.

Jawaban tegas

Dhonny Dhonanto dari UPA SDHHTL (Unit Penunjang Akademik Sumber Daya Hayati Hutan Tropis Lembab) Unmul memberikan jawaban yang lugas. Ia menunjukkan peta titik-titik lahan yang sudah dibuka hingga tahun 2021 dan masih boleh ditanami. Namun ia menegaskan bahwa setelah tahun itu, siapa pun dilarang membuka atau menanami lahan baru.

Bahkan bagi mereka yang sudah lama bermukim di kawasan tersebut, aturan tetap berlaku: tidak boleh membuka lahan baru. Jika ada yang melanggar, konsekuensi hukum menanti. Penegasan ini sempat membuat ruangan hening, tetapi kemudian disambut dengan anggukan tanda pengertian.

Respon peserta

Menariknya, meski aturan terdengar ketat, para peserta tampak cukup puas dengan sosialisasi hari ini. Mereka merasa diberi ruang untuk bertanya, didengar, dan diberi penjelasan yang jelas. Ada rasa lega karena akhirnya mereka tahu batasan yang harus dijaga.

Semoga suasana positif ini berlanjut, menjadi awal dari kolaborasi yang lebih baik antara masyarakat dan pengelola hutan.

Rangkaian kegiatan

Sebelum sosialisasi kepada masyarakat, telah diadakan Training of Trainers (TOT) di tempat yang sama dengan narasumber Rudi Taufana (kondisi Tahura Bukit Soeharta), Dr. Nur Arifudin (aspek hukum) dan Martinus Nanang (Metode riset kesadaran masyarakat). TOT ini bertujuan melatih para fasilitator agar mampu menyampaikan pesan konservasi dengan efektif.

Selain itu, sosialisasi juga dilakukan kepada siswa-siswa SMA2 Samboja. Langkah ini penting, karena generasi muda adalah pewaris hutan. Mereka harus sejak dini memahami bahwa menjaga hutan berarti menjaga masa depan.

Refleksi pribadi

Melihat hutan yang ditebangi di jalan poros tadi pagi, lalu menghadiri sosialisasi di siang harinya, saya merasa ada ironi sekaligus harapan. Ironi karena kerusakan terus berjalan, harapan karena ada upaya serius untuk menghentikannya.

Bukit Soeharto adalah simbol. Ia bukan hanya hutan, tetapi juga cermin bagaimana kita memperlakukan alam. Jika kita gagal menjaganya, maka kita gagal menjaga diri sendiri.

Narasi ini bukan sekadar catatan perjalanan, tetapi juga panggilan. Panggilan untuk kita semua agar tidak abai terhadap hutan yang menjadi sumber kehidupan. Sosialisasi hari ini adalah langkah kecil, tetapi penting. Semoga ia menjadi pijakan menuju langkah-langkah besar yang lebih nyata.

Hutan Bukit Soeharto harus tetap hidup. Ia adalah nafas kita. Dan mempertahankannya adalah tugas bersama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Etnografi Borneo: Membangun pemahaman tentang keberagaman Kalimantan

Rumpun Dayak ini pernah punya usulan nama IKN dan gedung-gedung penting

Argumen antropologis pentingnya warga Balik dan Paser di IKN tetap hidup berkomunitas

Speedboat ke pedalaman Mahakam

Speedboat ke pedalaman Mahakam
Martinus Nanang di dermaga Samarinda Ilir