Dekolonisasi Toponimi: Bisakah Dayak Melakukan yang Dilakukan India?
Di jantung Kalimantan,
ada fenomena yang sering luput dari perhatian namun dampaknya besar: perubahan
nama asli kampung dan orang Dayak ketika berhadapan dengan lidah orang luar.
Nama-nama yang kaya makna dan sejarah sering kali tergelincir, disederhanakan,
atau bahkan diganti agar lebih mudah diucapkan.
Ketika Nama Kehilangan Makna
Perubahan nama bukan
hanya soal salah ucap. Dalam antropologi, hal ini dikenal sebagai hegemonisasi
toponimi, bahkan lebih keras lagi kolonisasi toponimi: nama tempat atau orang diubah agar sesuai dengan selera dominan.
Dampaknya nyata—makna asli bisa hilang, bahkan spiritualitas yang melekat pada
nama ikut terkikis.
Generasi muda Dayak
yang tidak lagi fasih berbahasa daerah atau tinggal di kampung asal sering
menganggap perubahan itu biasa saja. Padahal, di balik nama yang tergelincir itu,
ada memori kolektif yang perlahan terhapus. Nama seperti Barukng, misalnya, bisa merujuk pada leluhur atau ekosistem lokal (Sungai Barukng?).
Ketika berubah menjadi Barong,
maknanya bergeser ke budaya lain, bahkan bisa diasosiasikan dengan barongsai
dari tradisi Tionghoa. Tentu saja ini contoh yang agak mengada-ada. Namunpoinnya, jejak sejarah bisa menjadi kabur.
Warisan Inferioritas dan Dekolonisasi Narasi
Fenomena ini juga
terkait dengan sejarah panjang labelisasi. Selama puluhan tahun, masyarakat
Dayak di pedalaman hidup dalam narasi inferioritas yang dibentuk oleh penjajah.
Mereka diberi cap “primitif” atau “terbelakang”, sehingga sebagian komunitas
mengalami tekanan psikologis berupa rasa minder.
Namun, beberapa dekade
terakhir, narasi itu mulai bergeser. Ada upaya besar untuk merebut kembali
citra Dayak sebagai masyarakat maju, beradab, dan berpendidikan. Semakin banyak
orang bangga menyebut dirinya Dayak, dan ini menjadi bagian dari proses dekolonisasi
narasi.
Istilah Penting untuk Memahami Fenomena
Untuk memahami lebih
dalam, ada beberapa istilah akademik yang relevan:
- Adaptasi
fonologis: perubahan
bunyi agar sesuai dengan bahasa lain.
- Distorsi
toponimi: perubahan nama
tempat yang mengaburkan makna asli.
- Etnosentrisme
linguistik: anggapan
bahwa sistem bahasa sendiri lebih “normal”.
- Hegemoni
budaya: dominasi nilai
budaya luar atas lokal.
- Negosiasi
identitas: proses
tawar-menawar makna dalam interaksi antarbudaya.
Istilah-istilah ini
mungkin terdengar berat, tetapi penting untuk dipahami agar kita bisa melihat proses penghapusan identitas dengan lebih sadar.
Apa yang disa dilakukan?
Mengembalikan nama-nama asli yang sudah terlanjur diubah dan diakui secara resmi memang tidak mudah. Namun, ada contoh keberhasilan dari India. Negara itu berhasil mengembalikan belasan nama kota yang sebelumnya diubah oleh kolonial Inggris: Calcutta menjadi Kolkata; Orissa menjadi Odisha, Bombay menjadi Mumbay, Madras menjadi Chennai, Bangalore menjadi Bengaluru, dan Allahabad menjadi Prayagraj, dan banyak lagi.
Proses ini disebut dekolonisasi toponimi, sebuah langkah
menegaskan kembali warisan lokal yang tertutup oleh kolonialisme.
Untuk konteks Dayak,
langkah awal yang bisa dilakukan antara lain:
- Dokumentasi: merekam nama-nama asli lengkap dengan
makna dan bunyinya.
- Edukasi: mengajak generasi muda untuk bangga
dengan nama lokal.
- Advokasi: mendorong media dan pemerintah
menggunakan nama yang benar.
Media seperti podcast,
blog, atau ruang diskusi publik bisa menjadi sarana perlawanan yang lembut
namun kuat. Dengan cara ini, memori kolektif bisa dihidupkan kembali, dan
identitas Dayak tetap terjaga.
Penutup
Nama bukan sekadar
bunyi. Ia adalah warisan, identitas, dan kekuatan. Ketika nama tergelincir,
kita bisa kehilangan jejak sejarah dan makna budaya yang berharga. Karena itu,
penting untuk terus menyuarakan akar kita—agar generasi mendatang tidak hanya
mewarisi nama, tetapi juga makna dan kebanggaan yang melekat di dalamnya.

Komentar
Posting Komentar