Sejumlah Kata dalam Bahasa Dayak Sulit diucapkan orang Luar: Apa Rahasianya?
Di jantung Kalimantan,
di antara hutan tropis yang bergema oleh suara gong, kelentangan, tambur, dan bisikan angin, terdapat
bahasa yang menyimpan lapisan makna lebih dalam dari sekadar kata. Bahasa Dayak
Benuaq, salah satu bahasa asli Kalimantan Timur, bukan hanya alat komunikasi,
tetapi juga wadah memori, identitas, dan spiritualitas. Dalam episode kedua
podcast BorneoQ, Martin mengajak kita menyelami bunyi-bunyi yang tak terucap—nuansa fonetik yang sering luput
dari tulisan, namun hidup dalam ucapan dan rasa.
Bahasa yang Bernapas: Pengenalan Bunyi Sakral
Percakapan dibuka dengan contoh kata beliatn, sebuah istilah yang merujuk pada ritual penyembuhan dalam tradisi Dayak Benuaq. Kata ini, sekilas tampak sederhana, namun menyimpan kompleksitas fonetik yang sulit ditangkap oleh penutur luar. Bunyi akhir -tn bukanlah gugus konsonan biasa. Dalam pengucapan lokal, [t] diucapkan dengan tekanan kuat, sementara [n] nyaris tak terdengar. Gabungan keduanya menghasilkan hentakan yang tertahan—sebuah bunyi yang menggantung, seolah-olah kata itu belum selesai, namun sudah cukup.“Bunyi itu membawa
nuansa sakral,” ujar Martin. “Dalam konteks ritual, ia seperti penutup yang
menahan napas.”
Bunyi ini bukan hanya
soal fonetik, tetapi juga soal rasa. Ia hadir sebagai penanda bahwa kata
tersebut memiliki bobot spiritual, bahwa ia tidak sekadar diucapkan, tetapi
dirasakan. Dalam beliatn, bunyi akhir menjadi semacam titik hening yang
menyimpan kekuatan penyembuhan dan penghormatan terhadap leluhur.
Pola Bunyi yang Kompleks: -kng, -gng, dan Koartikulasi Intuitif
Selain -tn, bahasa
Dayak Benuaq juga mengenal pola bunyi kompleks seperti -kng. Kata-kata
seperti butukng (perut), ngaraakng (menari), dan genikng (gong) menunjukkan
bagaimana konsonan akhir tidak berdiri sendiri, melainkan menyatu dalam resonansi
yang dalam. Di butukng, [k] ditekan, lalu [Å‹](bunyi sengau belakang) muncul
samar. Di ngaraakng, [g] dan [Å‹] menyatu dalam artikulasi yang khas.
“Ini bukan gugus
konsonan biasa,” jelas Martin. “Ini artikulasi kompleks yang khas Dayak
Benuaq dan beberapa suku Dayak lainnya.”
Secara teknis,
bunyi-bunyi ini bisa mendekati glottalized nasal atau implosif ringan. Namun
Martinus menekankan bahwa dalam praktik lokal, bunyi-bunyi tersebut bukan hasil
dari analisis fonetik semata, melainkan dari koartikulasi yang intuitif.
Penutur tidak memisahkan bunyi, mereka menyatukannya secara alami, mengikuti
ritme dan rasa bahasa.
Bunyi sebagai Identitas: Ritme, Nama, dan Doa
Bunyi akhir seperti
-tn, -kng, dan -gng bukan hanya fenomena fonetik, tetapi juga penanda identitas
budaya. Mereka muncul dalam berbagai konteks: nyanyian tradisional, doa,
percakapan sehari-hari, bahkan dalam nama-nama tempat dan orang. Ritme bahasa
Dayak Benuaq dibentuk oleh bunyi-bunyi ini, dan jika kita menghilangkannya atau
menyederhanakannya, kita kehilangan lapisan makna yang penting.
“Bunyi itu adalah
bagian dari ritme hidup. Jika kita hilangkan, kita kehilangan
identitas.”
Sayangnya, banyak dari
bunyi ini tidak tercatat dalam tulisan. Sistem alfabet Latin yang digunakan
dalam penulisan bahasa Dayak tidak cukup menangkap nuansa fonetik tersebut.
Akibatnya, dokumentasi tertulis sering kali mereduksi kekayaan bunyi menjadi bentuk
yang datar dan tidak beresonansi.
Tantangan Dokumentasi: Dari Tulisan ke Ruang Dengar
Disoroti
pentingnya dokumentasi audio-fonetik dalam pelestarian bahasa Dayak. Menulis
saja tidak cukup. Kita perlu merekam, mendengar, dan memahami bunyi-bunyi yang
hidup dalam ucapan. Dokumentasi yang hanya mengandalkan teks akan kehilangan dimensi
rasa dan ritme yang menjadi inti dari bahasa Dayak.
“Yang kita butuhkan
adalah arsip hidup,” tegas Martin. “Bukan hanya kamus, tapi ruang dengar.”
Arsip hidup yang
dimaksud adalah ruang di mana penutur muda bisa mendengar kata beliatn seperti
nenek mereka mengucapkannya. Tempat di mana bunyi-bunyi yang tak terucap bisa
tetap hidup, melintasi generasi dan menjaga kesinambungan budaya. Podcast
seperti BorneoQ, menurut Martin, bisa menjadi bagian dari arsip
tersebut—media yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menyimpan
suara dan makna.
Dari Mendengar ke Menjaga: Refleksi dan Harapan
Di penghujung episode,
Martin mengajak kita untuk memulai dari mendengar. Mendengar adalah langkah
pertama menuju pemahaman, dan pemahaman adalah dasar dari pelestarian. Dengan
mendengar bunyi-bunyi yang tak terucap, kita membuka diri terhadap lapisan makna
yang selama ini tersembunyi di balik kata.
“Semoga anak-anak bisa
berkata, ‘Itu suara kami,’” harap Martin.
Harapan ini bukan
sekadar romantisme budaya, tetapi strategi pelestarian yang konkret. Dengan
membangun ruang dengar, kita menciptakan ekosistem di mana bahasa Dayak bisa
terus hidup dan berkembang. Kita memberi ruang bagi bunyi untuk bernapas, bagi
identitas untuk bersuara, dan bagi generasi mendatang untuk terhubung dengan
akar mereka.
Menyulam Bunyi dalam Dokumentasi dan Media
Episode ini juga
membuka peluang besar bagi para peneliti, seniman, dan aktivis budaya untuk
menyulam bunyi dalam berbagai bentuk dokumentasi. Podcast, video, arsip
digital, dan platform interaktif bisa menjadi wadah untuk menyimpan dan
menyebarkan bunyi-bunyi khas Dayak. Dengan pendekatan yang menghargai rasa dan
ritme, kita bisa menciptakan dokumentasi yang tidak hanya akurat secara teknis,
tetapi juga hangat secara emosional.
Bunyi seperti -tn,
-kng, dan -gng bisa dijadikan fokus dalam pelatihan fonetik, pembuatan konten
edukatif, dan pengembangan kurikulum bahasa daerah. Mereka bisa menjadi titik
masuk untuk memahami bagaimana bahasa membentuk cara berpikir, merasakan, dan berinteraksi
dalam komunitas Dayak.
Kesimpulan: Mendengar yang Menjaga
“Kadang yang paling
penting… adalah bunyi yang tak terucap,” tutup BorneoQ dalam episode ini.
Kalimat ini merangkum
esensi dari seluruh percakapan. Bunyi yang tak terucap bukan berarti tidak ada.
Ia hadir dalam hentakan, dalam resonansi, dalam jeda yang penuh makna. Ia
adalah suara yang menjaga, yang mengingatkan, dan yang menghubungkan kita dengan
warisan budaya yang kaya.
Melalui episode ini,
kita diajak untuk tidak hanya mendengar, tetapi juga merawat. Merawat bunyi
berarti merawat identitas. Merawat bahasa berarti merawat jiwa komunitas. Dan
dalam setiap kata yang diucapkan dengan rasa, kita menemukan jejak sejarah, spiritualitas,
dan harapan.
Simak selengkapnya di Podcastnya di sini.

Komentar
Posting Komentar